Isuhukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem hukum yang ada. Dalam Black’s Law Dictionary di definisikan “Comparative Jurisprudence is the study of the principles of legal science by the comparison of various systems of law” dalam hal ini yang diperbandingkan adalah dua atau lebih sistem hukum yang pidana positif Indonesia ialah berasal dari keluarga hukum CivilLaw System yang mementingkan sumber hukum dari peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Sementara Inggris menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan kebiasaan yang berlaku di sana. Kebiasaan tersebut dapat berupa Norma maupun putusan-putusan hakim sebelumnya. Selain perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem hukum pidana kedua negara sebenarnya memiliki kesamaan. Di Indonesia dikenal hukum pidana adat yang sampai saat ini masih diakui dan dipakai dalam masyarakat. Dilihat dari sumber hukumnya, sebenarnya hukum pidana adat tersebut berasal dari kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan sumber hukum common law yang berasal dari kebiasaan yang ada di masyarakat. Setiap sistem hukum, pasti memiliki asas-asas yang kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan hukumnya. Salah satu asas hukum yang sangat penting dan dimiliki oleh setiap sistem hukum adalah asas legalitas atau dikenal juga dengan asas “Nullum delictum, nulla poena, sina praevia lege poenali” 1. Bagaimana Perbedaan Asas Legalitas Hukum Pidana di Indonesia dengan di Inggris ? 2. Apakah Asas Strict liability di Indonesia sama dengan strict liability di inggris ? 3. Apakah Perbedaan Sistem Peradilan Hukum Pidana Indonesia dengan di Inggris ? .BAB II PEMBAHASAN A. Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia Dengan Asas Legalitas Inggris a. Asas Legalitas di Indonesia Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi ”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan dilakukan pembatasan-pembatasan itu KUHP Indonesia juga melarang adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang. b. Asas Legalitas Di Inggris Asas Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian pengertian formal. Artinya, suatu delik oleh hakim berdasarkan common law hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan, namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang statute law. Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common Law dimana prinsipnya hukum tidak tertulis yang jadi patokan nilai yang ada pada masyarakat. Peran hakim menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis asas doctrine of precedent. Sumber hukum utama adalah putusan hakim yurisprudensi. Sehingga dari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu 1. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim yurisprudensi. Jadi dalam memutuskan suatu perbuatan pidana di inggris biasanya bersumber pada yurisprudensi hakim. 2. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam pemutusan suatu perbuatan pidana Indonesia tetap bersumber menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. B. Perbandingan Asas Strict Liability Hukum Pidana Indonesia Dengan Hukum Pidana Inggris a. Asas Stict Liability Indonesia Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabiIa dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of absolute prohibition. Strict liability disebut juga absolute liability. Istilah dalam bahasa Indonesia yang saya gunakan adalah "pertanggung jawaban mutlak". Mardjono Reksodiputro dalam salah satu tulisannya diterapkannya asas strict liability di Indonesia yang menganut system Eropa Continental, yaitu “Berhubung kita tidak mengenal ajaran Strict liability yang berasal dari system hukum Anglo-Amerika tersebut, maka sebagai alasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang berasal dari system hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua ajaran ini tidaklah penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict liability hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan. Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan, antara lain untuk pelanggaran Ialu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada waktu lampu lalu lintas menunjukkan lampu yang berwarna merah menyaIa, akan ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan di sidang di pengadilan. Hakim dalam memutuskan hukunan atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Pada Pasal 211 KUHAP pembuktian pelanggaran-pelanggaran jenis lalu lintas jalan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan nyata seketika itu, karena tidak mungkin dipungkiri lagi oleh pelanggar. Berita acara yang ditiadakan diganti dengan bukti pelanggaran lalu lintas tertentu disingkat TILANG yang diisi oleh penegak hukum POLRI Satuan Lalu Lintas. Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindakan pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas "strict liability" b. Asas Strict Liability Inggris Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea , namun di Inggris ada delik – delik yang tidak mensyaratkan adanya Mens Rea berupa intention, recklessness, atau negligence. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang – undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut strict liability yang sering diartikan secara singkat liability without fault pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap 3 macam delik 1. Public nuisance gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan. 2. Criminal libel penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik 3. Contempt of Court pelanggaran tata tertib di pengadilan Misalnya mengancam Jaksa, hakim dan Saksi. Prinsip pertanggungjawaban mutlak strict Liability merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum liability yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya. Jenis pertanggung jawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala kekurangan dari system atau jenis pertanggungjawaban fault based liability. Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan liability based on fault, artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya. Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand. C. Perbedaan Sistem Peradilan Pidana Inggris dengan Sistem Pidana Indonesia a. Sekilas Sistem Peradilan Pidana Inggris Sampai akhir 1986, proses penuntutan bagi perkara-perkara ringan di Inggris dilakukan oleh Polisi sendiri Police Prosecutor. Sedangkan perkara yang agak berat dilakukan oleh pengacara yang disebut Solicitor. Dan perkara-perkara yang berat disidangkan di pengadilan tinggi tingkat banding dengan penuntut Umum pengacara yang disebut Barrister. Namun sejak 1986 yang menentukan apakah perkara yang disidik Polisi dapat diajukan ke pengadilan atau tidak adalah Jaksa yang tergabung dalam Crown Prosecution Secvice CPS. Dan di Inggris terdapat 31 kejaksaan atau CPS yang terdiri dari Crown Prosecutor, senior Crown Prosecutor, Assistant branch CPS, Branch prosecutor di Indonesia setingkat Kepala Kejaksaan Negeri, dan Chief Prosecutor setingkat Kepala Kejaksaan tinggi. Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari a Custom, merupakan sumber hukum tertua. Tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon pada abad pertengahan yang melahirkan Common Law. Sehingga sistem hukum Inggris disebut juga sistem anglo saxon. b Legislation/statute, berupa Undang-undang yang dibuat melalui parlemen. c Case law/judge made law, hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat melalui putusan hakim yang kemudian diikuti oleh hakim berikutnya melahirkan asas precedent. Dalam sistem Common Law seperti di Inggris, adat istiadat atau kebiasaan masyarakat custom yang dikembangkan berdasarkan putusan Pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena berlaku asas STARE DECISIS atau ASAS BINDING FORCE OF PRECEDENTS. Asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti putusan hakim yang ada sebelumnya. Bagian putusan hakim yang harus diikuti dan mengikat adalah bagian pertimbangan hukum yang disebut sebagai ratio decidendi sedangkan hal selebihnya yang disebut obiter dicta tidak mengikat. Dalam sistem peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang direkrut dari masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan sesuai prosedur dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas jaksa dan pengacara dalam persidangan adalah meyakinkan juri bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut di Indonesia sebagai kelanjutan dari sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan lebih berat karena selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga menetapkan hukuman vonisnya . Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor dalam hukum acara Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris kesulitan untuk mengungkap atau menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan ancaman serius bagi masyarakat terutama terorisme. Karena tersangka berlindung dibalik kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk diam right to remain silent. Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang ada di dunia civil law dan common law ternyata saat ini bukan saatnya lagi memperdebatkan secara tajam perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut. b. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau Undang-undang tahun 1981, sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan dalam KUHP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu 1. Kekuasaan Penyidikan oleh Lembaga Kepolisian. 2. Kekuasaan Penuntutan oleh Lembaga Penuntut Umum atau Kejaksaan. 3. Kekuasaan mengadili oleh Badan Peradilan atau Hakim. 4. Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi jaksa dan lembaga pemasyarakatan. No Variabel Indonesia Inggris 1. Pengadilan superior dan inferior strata tingkatan pengadilan dari yang paling tinggi Agung; tinggi; negeri. of lords; agung; banding; tinggi; kerajaan; magistrate. Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. Menilik sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam KUHAP maka keempat komponen penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan seharusnya konsisten menjaga agar sistem berjalan secara terpadu. Dengan cara melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing sebagaimana telah diberikan oleh Undang-undang. Karena dalam sistem Civil Law yang kita anut, Undang-undang merupakan sumber hukum tertinggi. Karena disana dalam Hukum Acara Pidana telah diatur hak dan kewajiban masing-masing penegak hukum dalam subsistem peradilan pidana terpadu maupun hak-hak dan kewajiban tersangka/terdakwa. Perbedaan Pengadilan Indonesia dan Inggris No Variabel Indonesia Inggris 2. Pembagian pengadilan berdasarkan yurisdiksi khusus umum; agama; tata usaha negara; militer koroner; militer; ketenagakerjaan; imigrasi; 3. Pembagian daerah hukum Terdapat pembagian daerah hukum berdasarkan administrasi wilayah Tidak terdapat pembagian daerah hukum 4. Jumlah hakim yang memeriksa perkara Hakim majelis Umumnya menggunakan hakim tunggal 5. Sistem pembuktian Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif Berdasarkan keyakinan belaka conviction in time BAB III PENUTUP Dari Uraian Pembahasan diatas maka dapat disimpulkan Bahwa Perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat antara Hukum pidana Indonesia dengan inggris yaitu dapat kita lihat melalui asas legalitas dari masing-masing dimana asas legalitas Negara inggris bersumber kepada yurisprudensi hakim, sedangkan di Indonesia bersumber pada undang-undang yang berlaku. Dan juga asas strict liability kedua Negara dimana di Negara inggris unsur kesalahan tidak dapat diberikan apa bila tidak ada pada dirinya, sedangkan di Indonesia unsur kesalahan sudah diberikan apabila telah terbukti melakukan suatu kesalahan. Dan yang terakhir dalam system peradilan pidana Indonesia identik dengan penegakan hukum pidana yang mempunyai kekuasaan dan kewenangnan dalam menegakan hukum pidana. Yang terdapat 4 subsistem yaitu, kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan kekuasaan pelaksanaan hukuman. Sedangkan dalam system peradilan pidana di inggris putusan pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Dan putusan hakim mengikat untuk hakim selanjutnya. Dengan membandingkan hukum pidana Negara Indonesia dengan Inggris. Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan keadilan hukum, perlu meniru tata cara pengambilan putusan dalam penegakan hukum. DAFTAR PUSTAKA Ø Prof. Nawawi Arief, Barda, Perbandingan Hukum Pidana Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2010 Ø Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta Balai Pustaka. Ø Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Indonesia
Срωрераξ τафижюгАጮαሉас ኂаτ
Χև ռዎላи аТиνጻδ ኔςէ ιпумեм
ሿιдաሺ խвреጵէկոኟո ирօπасЦеδяна всош
Էδ οСреςе ጅяኤፑск
ሮпепрո мոпама лУպኬձепсըςա ፕеጩοфуго
Ֆаኙеኆ жазሺсрθփՈր оσеснуጻሌμን
Persamaansistem peradilan pidana Indonesia dan Inggris (lanjutan) 2. Adanya lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pemasyarakatan dan advokat dengan format yang sedikit berbeda; 3. Adanya kesamaan dalam proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan, banding, kasasi dan eksekusi 4. MAKALAH HUKUM INTERNASIONALPerbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Pidana Inggris“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional”Disusun Oleh Romi SaputraKEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGIUNIVERSITAS RIAUFAKULTAS HUKUM2022Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Pidana InggrisA. Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia Dengan Asas Legalitas Inggris Asas Legalitas di Indonesia Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi ”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang- undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan dilakukan pembatasan-pembatasan tertentu itu KUHP Indonesia juga melarang adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang. Asas Legalitas Di Inggris Asas Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian pengertian formal. Artinya, suatu delik oleh hakim berdasarkan common law hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan, namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang statute law. Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common Law dimana prinsipnya hukum tidak tertulis yang jadi patokan nilai yang ada pada masyarakat. Peran hakim menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis asas doctrine of precedent. Sumber hukum utama adalah putusan hakim yurisprudensi. Sehingga dari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim yurisprudensi. Jadi dalam memutuskan suatu perbuatan pidana di inggris biasanya bersumber pada yurisprudensi hakim. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam pemutusan suatu perbuatan pidana Indonesia tetap bersumber menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. singkat liability without fault pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap 3 macam delik a Public nuisance gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan. b Criminal libel penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik c Contempt of Court pelanggaran tata tertib di pengadilan Misalnya mengancam Jaksa, hakim dan pertanggungjawaban mutlak strict Liability merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum liability yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya. Jenis pertanggung jawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala kekurangan dari system atau jenis pertanggungjawaban fault based liability. Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan liability based on fault, artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya. Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand. PerbandinganHukum Pidana. Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah FH-UNDIP, 1986. Atmasasmita, Romly. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju Badan Pembinaan Hukum Nasional. Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana Tahun 1980/1981. Jakarta: BPHN, 1985. Bemmelen, J.M van. Hukum Pidana 1: Hukum Pidana Material Bagian Umum. Download Free DOCXDownload Free PDFPERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN INGGRISPERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN INGGRISPERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN INGGRISPERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN INGGRISDika Al
\n\n \n perbandingan hukum pidana indonesia dengan hukum pidana inggris
Penelitianini bertujuan untuk menganalisis asal mula dan penerapan praperadilan dalam kaitannya dengan Habeas Corpus dan menelisik sejauh mana pranata hukum Habeas Corpus dari sistem peradilan pidana Inggris ini diadaptasikan ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia berpotensi berkembang menjadi malicious.

Tindak pidana yang bersifat ringan harus diselesaikan dengan mekanisme yang sama seperti tindak pidana yang berat, adalah salah satu bentuk ironi keadilan. Untuk mengurangi persoalan ironi keadilan tersebut, beberapa negara telah mengembangkan berbagai mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan untuk perkara-perkara yang bersifat ringan. Selain itu, sistem peradilan pidana di setiap negara secara umum juga hanya mampu memproses sebagian kecil dari seluruh tindak pidana yang terjadi sehingga penuntut umum harus melaksanakan diskresi dalam memutuskan perkara mana yang akan dilanjutkan atau dihentikan penuntutannya atau diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan di luar persidangan. Isu hukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris. Hasil dari analisis tersebut adalah ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan. Keadaan berbeda terjadi pada sistem peradilan pidana Indonesia karena sangat tidak efisien, tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disampaikan rekomendasi bahwa asas kelayakan perlu segera diterima dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan cara mengadopsi teori subsosialitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 9a Sr. dan mengadopsi mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana yang bersifat ringan di luar persidangan dalam bentuk transaksi dengan model komposisi, dengan disertai adanya modifikasi penambahan pokok-pokok pemikiran adaptasi bagi sistem hukum Indonesia. Keywords penyelesaian; perkara; pidana Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 1 ANALISIS PERBANDINGAN KEBIJAKAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PERSIDANGAN DI BELANDA, INGGRIS, DAN INDONESIA Ahmad Hajar Zunaidi 1*, Mokhammad Najih 21* Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Indonesia, ahmadhajar_1979 2 Law Faculty, University of Muhammadiyah Malang, Malang, Indonesia najih Abstrak Tindak pidana yang bersifat ringan harus diselesaikan dengan mekanisme yang sama seperti tindak pidana yang berat, adalah salah satu bentuk ironi keadilan. Untuk mengurangi persoalan ironi keadilan tersebut, beberapa negara telah mengembangkan berbagai mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan untuk perkara-perkara yang bersifat ringan. Selain itu, sistem peradilan pidana di setiap negara secara umum juga hanya mampu memproses sebagian kecil dari seluruh tindak pidana yang terjadi sehingga penuntut umum harus melaksanakan diskresi dalam memutuskan perkara mana yang akan dilanjutkan atau dihentikan penuntutannya atau diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan di luar persidangan. Isu hukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris. Hasil dari analisis tersebut adalah ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan. Keadaan berbeda terjadi pada sistem peradilan pidana Indonesia karena sangat tidak efisien, tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disampaikan rekomendasi bahwa asas kelayakan perlu segera diterima dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan cara mengadopsi teori subsosialitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 9a Sr. dan mengadopsi mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana yang bersifat ringan di luar persidangan dalam bentuk transaksi dengan model komposisi, dengan disertai adanya modifikasi penambahan pokok-pokok pemikiran adaptasi bagi sistem hukum Indonesia. Kata Kunci Penyelesaian; Perkara; Pidana. I. PENDAHULUAN1Persoalan ironi keadilan, yang sering dinyatakan dengan kalimat bahwa hukum tumpul ke atas namun sangat tajam ke bawah, bukan hanya terkait disparitas sanksi pidana yang dijatuhkan yakni pelaku tindak pidana yang bersifat ringan dipidana dengan sangat berat, sedangkan pelaku tindak pidana yang berat dipidana dengan pidana yang ringan, namun juga terkait proses penyelesaian perkara tersebut. Tindak pidana yang bersifat ringan harus diselesaikan dengan mekanisme yang sama seperti tindak pidana yang berat, adalah salah satu bentuk ironi keadilan. Untuk 1mengurangi persoalan ironi keadilan tersebut, beberapa negara telah mengembangkan berbagai mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan untuk perkara-perkara yang bersifat ringan. Pertimbangan lain urgensi pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah karena sistem peradilan pidana di setiap negara secara umum hanya mampu memproses sebagian kecil dari seluruh tindak pidana yang terjadi UN Office on Drugs and Crime, 2007. Jika suatu negara menyelidiki, menuntut, mengadili, dan menghukum seluruh pelaku tindak pidana, maka setiap tahap dari sistem peradilan pidana tidak akan mampu . pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 2 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr atau memproses seluruh tindak pidana yang terjadi tersebut UN Office on Drugs and Crime, 2007. Oleh karena itu, polisi dan penuntut umum yang akan membawa masuk pelaku tindak pidana ke dalam sistem peradilan pidana, harus melaksanakan diskresi dalam memutuskan perkara mana yang akan dilanjutkan atau dihentikan penuntutannya UN Office on Drugs and Crime, 2007. Jika dilanjutkan penuntutannya, perkara mana yang sanksi pidananya akan dijatuhkan melalui tahap persidangan judicial sanctions dan perkara mana yang sanksi pidananya tidak harus melalui tahap persidangan extrajudicial sanctions. Solusi sistematis terhadap persoalan ironi keadilan tersebut adalah pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan dalam sistem hukum pidana Indonesia yang pelaksanaannya bertumpu pada pengaturan diskresi penuntutannya oleh jaksa / penuntut umum. Oleh karena itu isu hukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris. Hasil dari analisis terhadap ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan tersebut, diharapkan dapat memberikan suatu preskripsi berupa visi dan arah kebijakan baru pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan dalam sistem hukum pidana Indonesia. II. METODE PENELITIAN Jenis Penilitan Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian Hukum Normatif. Yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif yaitu suatu proses dimana proses tersebut bertujuan untuk menemukan sutu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang sedang dihadapi Peter Mahmud Marzuki, 2009. Alasan peneliti menggunakan jenis penelitian normatif karena peneliti berharap dapat memberikan atau menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai deskripsi dari penyelesaian isu hukum yang telah diambil. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian hukum harus dilakukan dalam melakukan penelitian, hal itu bertujuan untuk membantu peneliti dalam mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicari jawabannya. Oleh karena itu maka penulis dalam hal ini menggunakan 3 pendekatan, yaitu a. pendekatan Undang-undang, yaitu dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani atau pendekatan ini juga bisa disebut dengan pendekatan menggunakan legislasi dan regulasi Peter Mahmud Marzuki, 2009. b. Pendektan konseptuan, pendekatan ini akan mempelajari dari segi undang-undang, doktrin-doktrin didalam ilmu hukum serta meliha konsep-konsep Good Corporate Govermance yang terdapat dari berbagai literatur sehingga penelita akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi Peter Mahmud Marzuki, 2009. c. Pendekatan filosofis atau filsafat, pendekatan ini bukan bertujuan untuk menjawab dari permasalahan yang ada, tetapi lebih menuju ke menemukan permasalahan Karena sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Pendekatan filsafat ini akan lebih membentuk Fundamental Research, yaitu dalam penelitian ini akan lebih memperoleh pemahaman yang lebih terhadap implikasi sosial dan dampak dari penerapan suatu undang-undang terhadap masyarakat atau suatu kelompok masyarakat yang didalam penelitian berkaitan dengan sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi dan juga implikasi sosial serta potik terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum yang ada. Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini peniliti menggunakan 3 jenis sumber bahan hukum, yaitu a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, dimana bahan hukum ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam membuat P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 3 perundang-undangan dan putusan-putusan hakim jika dibutuhkan Peter Mahmud Marzuki, 2009. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, biasanya berupa buku-buku hukum atau referensi-refensi, jurnal-jurnal, karya tulis ilmiah, internet bahkan juga surat media masa yang keseluruhannya terkait dengan isu hukum yang ada Peter Mahmud Marzuki, 2009. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier juga merupakan bahan hukum yang juga harus dapat menjelaskan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum ini dibutuhkan untuk menunjang bahan hukum lainnya. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Metode pengumpulan data pada penelitian ini dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan sekunder mapun bahan hukum tersier. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah, membaca, mencatat segala hal-hal yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dibahas selain itu juga membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang terkait. Metode pengumpulan bahan hukum ini juga dapat dilakukan dengan cara documenter, yaitu dikumpulkannya referensi dari berbagai sumber baik jurnal, makalah, penelitian, buku-buku, Koran, majalah, internet dll terkait segala hal yang berkaitan dengan isu hukum yang diangkat. Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, hal pertama yang harus perlu dilakukan pula yaitu mencari dan mengumpulkan peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang di bahas Peter Mahmud Marzuki, 2009. Selain itu wawancara juga dapat dilakukan, hal ini bertujuan untuk menunjang tknik dokumenter dan memperoleh bahan hukum untuk menjawab isu hukum yang terjadi. Semua bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diolah, dalam penlitian ini digunakan metode pengolahan dengan cara editing, yaitu dengan cara memeriksa kembali bahan-bahan hukum yang diperoleh baik dari segi kelengkapannya, kesesuaian, kejelasan, serta relevansinya dengan bahan hukum yang lain Saifullah, 2004. Metode Analisis Bahan Hukum Peneliti dalam menganalisa bahan hukum yang ada dengan cara mengklasifikasikan bahan-bahan hukum yang ada agar mudah dianalisis dan dikonstruksikan. Dalam hal ini karena jenis penelitian berupa penelitian normatif maka maka sistem analisisnya dengan cara diskriptif kualitatif yang merupakan analisa data-data yang tidak bisa dihitung. Kemudian bahan hukum yang sudah diperoleh kemudian dikelompokkan, diperiksa dan kemudian dilakukan pembahasan. Setelah itu bahan hukum kemudian akan di interpretasikan dengan metode interprertasi sistematis, gramatikal dan teleologis Asshiddiqie, 1996. III. HASIL DAN DISKUSI Persoalan mendasar yang harus diselesaikan dalam setiap sistem peradilan pidana adalah bagaimana mengatur bentuk diskresi tersebut dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Sebagai gambaran bagaimana Belanda dan Inggris yang telah lama mengembangkan model-model diskresi kewenangan penuntutannya guna dibandingkan dengan di Indonesia, berikut ini ditunjukan model-model diskresi kewenangan penuntutan di Belanda dan Inggris sebagai berikut Belanda Belanda sebagai salah satu negara dengan tradisi European Civil Law dan menggunakan sistem penuntutan inquisitorial, memandang proses peradilan pidana sebagai proses yang harus dilakukan secara sah untuk menemukan kebenaran secara rasional dan tidak berpihak Luna & Wade, 2010. Oleh karena itu, Sistem hukum dipandang sebagai suatu instrumen rasional yang menerapkan metode ilmiah untuk menemukan kebenaran dan keadilan, sehingga hukum adalah science karena merupakan produk dari keputusan yang rasional yang dapat menghadirkan kebenaran dan memberikan keadilan melalui logika dan analisis yang seimbang Luna & Wade, 2010. Konsekuensi sistem penuntutan inquisitorial yang dianutnya, maka penuntut umum di Belanda memiliki pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 4 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr kuat dan dominan dalam setiap tahap proses pidana Crijns, 2011. Penuntut umum juga memiliki wewenang memerintahkan kepada polisi beberapa hal yang harus dilakukan dalam tahap penyidikan, dan penuntut umum juga berwenang untuk meneruskan atau tidak meneruskan kasus tersebut ke pengadilan Crijns, 2011. Asas-asas yang menjadi dasar diskresi kewenangan penuntutan tersebut adalah asas expediency yakni penuntut umum dapat tidak meneruskan penuntutan suatu perkara ketika kesalahan pelaku tersebut masih termasuk tindak pidana minor dan apabila peradilan tetap dilanjutkan justru tidak dapat memenuhi kepentingan public Luna & Wade, 2010. Selain asas expediency, dasar dikresi penuntutan yang lain adalah asas oportunitas opportuniteitsbeginsel, yang artinya penuntut umum tidak diwajibkan untuk selalu membawa suatu kasus ke pengadilan, ia juga boleh menyelesaikan suatu kasus atas kewenangannya sendiri atau memutuskan untuk menghentikan penuntutan kasus tersebut Crijns, 2011. Diskresi kewenangan penuntutan di Belanda diatur dalam hukum pidana materiil yakni Wetbook van Strafrecht Sr dan dalam hukum pidana formil yakni Wetbook van Strafvordering Sv. Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan dengan tanpa syarat tertentu onvoorwardelijk sepot, Pasal 167 ayat 2 Sv. dan Pasal 242 ayat 2 Sv., maupun dengan syarat tertentu voorwardelijk sepot Pasal 167 ayat 2 Sv., Pasal 257 a-h Sv. . Sedangkan mekanisme penghentian penuntutan dengan syarat-syarat tertentu biasa dikenal dengan transaksi Pasal 74- 74c Sr.. Lebih dari 30% perkara pidana di Belanda diselesaikan dengan mekanisme transaksi ini Kempen, 2009. Di Belanda terdapat beberapa metode alternatif dari penuntutan yang bisa digunakan oleh penuntut umum, namun ada tiga metode yang sangat sering digunakan yakni non-prosecution, transaksi, dan penal order yang akan dibahas sebagai berikut a. Non-prosecution Non Prosecution artinya penuntut umum dapat memutuskan tidak melakukan penuntutan dalam hal jika dilakukan penuntutan mungkin tidak menghasilkan adanya hukuman bagi terdakwa, baik karena kurangnya alat bukti atau alasan teknis lainnya penghentian penuntutan karena alasan teknis atau prosedural Tak, 2006. Penuntut umum juga dapat tidak melakukan penuntutan berdasarkan asas kelayakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 167 Sv. menentukan bahwa “penuntut umum harus memutuskan untuk melakukan penuntutan jika penuntutan dinilai penting berdasarkan hasil penyidikan. Penuntutan dapat dihentikan berdasarkan kepentingan publik”Tak, 2006. Penuntut umum dapat menunda dilakukannya penuntutan secara bersyarat dalam kasus-kasus tertentu. Penundaan penuntutan terhadap suatu kasus tidak ada dasarnya dalam undang-undang di Belanda, oleh karena itu secara teoretis membingungkan, tapi secara umum penundaan penuntutan tersebut bisa diterima. Syarat-syarat umum atau syarat-syarat khusus dilakukannya penundaan penuntutan tidak pernah ada, tapi dalam praktek penuntut umum menggunakan syarat-syarat yang sama seperti syarat-syarat yang dipergunakan oleh hakim ketika menjatuhkan penundaan hukuman Tak, 2006. Broad of Prosecutors-General menerbitkan panduan penuntutan nasional untuk mengharmoniskan penggunaan diskresi kewenangan penuntutan tersebut. Seluruh penuntut umum di Belanda diperintahkan mengikuti panduan tersebut, kecuali ada situasi dan kondisi tertentu dalam suatu kasus tertentu. Berdasarkan panduan tersebut, penuntut umum dapat menghentikan penuntutan suatu kasus dengan pertimbangan kepentingan umum, jika antara lain sebagai berikut Tak, 2003 1 Dapat diyakini bahwa tindakan lain yang bukan sanksi pidana telah cukup untuk diterapkan atau akan lebih efektif misalkan sanksi disiplin, administrasi, atau sanksi perdata lainnya. 2 Penuntutan terhadap tindak pidana itu dinilai tidak proporsional, tidak adil, atau tidak efektif terhadap kejahatan tersebut misalkan kejahatan itu tidak menimbulkan bahaya dan tidak layak untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadapnya. 3 Penuntutan terhadap tindak pidana itu dinilai tidak proporsional, tidak adil, atau tidak efektif dengan pertimbangan melihat kondisi pelakunya misalkan kondisi usia dan kesehatan pelaku, prospek rehabilitasi, pelaku pertama kali. 4 Penuntutan tersebut bisa bertentangan dengan kepentingan negara, misalkan dengan P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 5 pertimbangan keamanan, kedamaian, dan ketertiban, atau jika penerapan hasil legislasi baru diperkenalkan. 5 Jika penuntutan dilakukan akan menjadi bertentangan dengan kepentingan korban misalkan kompensasi atau ganti rugi telah dibayarkan. Sedangkan penghentian penuntutan karena alasan teknis dapat disampaikan antara lain Tak, 2003 a Kesalahan dalam registrasi tersangka oleh Kepolisian. b Kekurangan alat bukti untuk melakukan penuntutan. c Adanya larangan untuk adanya suatu penuntutan. d Pengadilan tidak memiliki kompetensi hukum untuk mengadili perkara ini. e Perbuatan tersebut tidak digolongkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang. f Pelaku tidak harus bertanggungjawab secara pidana karena adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf. Isu selanjutnya, terkait siapa yang seharusnya berwenang merumuskan kebijakan penuntutan. Isu ini sangat penting dalam konteks hubungan antara Eksekutif dan Organ Penuntutan. Ashworth menyampaikan bahwa yang berwenang adalah pihak yang memerankan quasi-judicial yakni kewenangan penuntut umum untuk secara independen mengambil keputusannya Tak, 2003. b. TransactionSejarah lahirnya wet tot vereenvoudiging van de rechtspleging in lichte stafzaken Undang-undang penyederhaan penyelenggaraan pemeriksaan pengadilan untuk kasus-kasus pidana ringan tanggal 5 Juli 1921, menunjukan bahwa pada masa itu, pemerintah Belanda sedang mengalami persoalan dengan peningkatan perkara yang masuk untuk diproses di pengadilan, sehingga terbit ketentuan lama Pasal 74 Sr. Pasal 82 KUHP tentang transaksi, yang mensyaratkan bahwa dengan membayar denda maksimum maka terdakwa dapat terhindar dari tuntutan hukum Remmelink, 2003. Pada tanggal 1 Mei 1983 kewenangan transaksi mengalami perluasan melalui Wet vermogenssancties Undang-Undang Negara Belanda tentang Sanksi terhadap Harta Benda Terpidana, sehingga jaksa/penuntut umum dapat menerapkan syarat-syarat sebagai imbalan penghentian penuntutan hukum tidak hanya untuk semua tindak pelanggaran, namun juga untuk kejahatan-kejahatan, terkecuali yang diancamkan pidana penjara lebih dari enam tahun Remmelink, 2003. Transaksi dapat dipahami sebagai salah satu bentuk diskresi kewenangan penuntutan yakni dengan cara jika terdakwa secara sukarela membayar sejumlah uang kepada kas negara atau memenuhi satu atau lebih persyaratan yang diajukan oleh penuntut umum dengan maksud menghindarkan penuntutan pidana lebih lanjut dan peradilan yang terbuka untuk umum Tak, 2006. Diterimanya tawaran transaksi dari penuntut umum sebenarnya menguntungkan terdakwa, karena ia terhindar dari peradilan yang terbuka untuk umum, dan transaksi tidak dicatat oleh pengadilan dalam catatan kriminal, dan ia tidak lama dalam situasi ketidakpastian tentang hukuman yang akan diterimanya. Pada sisi lain, dengan menerima transaksi maka terdakwa melepaskan hak-haknya untuk dihukum berdasarkan pengadilan yang bebas yang dijamin oleh Undang-Undang, Pasal 6 European Concention of Human Rights / ECHR Tak, 2006. Pasal 74 ayat 1 Sr. mewajibkan jaksa untuk melakukan penawaran transaksi sebelum dimulainya persidangan untuk perkara-perkara yang memenuhi syarat tertentu dapat diselesaikan melalui mekanisme transaksi atau afdoening buiten proces. Pasal 74 ayat 2 Sr. menguraikan syarat-syarat tertentu yang dapat diajukan oleh jaksa dalam penawaran transaksi tersebut. Pasal 74 ayat 3 Sr. menentukan kewajiban jaksa untuk menyampaikan informasi kepada pihak yang berkepentingan kepada korban misalkan tentang tanggal batas waktu dipenuhinya syarat-syarat transaksi tersebut. Selanjutnya Pasal 74a Sr. menegaskan bahwa terdakwa memiliki hak untuk menghapuskan kewenangan penuntutan jaksa dengan membayar sejumlah denda dan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi. Pasal 74b Sr, mengatur bahwa jika dalam waktu sebelum tiga bulan dari diterimanya kesepakatan transaksi oleh terdakwa, kemudian pengadilan memerintahkan agar dibuka kembali perkara itu untuk dilakukan proses penuntutan misalkan atas dasar pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 6 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr korban, maka proses penuntutan harus dilaksanakan. Akan tetapi mekanisme ini hanya berlaku untuk kejahatan. Terakhir Pasal 74c Sr. memberikan kewenangan transaksi oleh polisi atau penyidik khusus lainnya dengan batasan-batasan tertentu. Perlindungan hak warga negara untuk mendapatkan peradilan pidana yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam praktek penegakan hukum pidana di Belanda, dapat dipenuhi antara lain dengan bekerjanya mekanisme afdoening buiten proces ini dengan cukup luas, sehingga untuk tindak-tindak pidana yang bersifat ringan mayoritas diselesaikan dengan mekanisme tersebut. Perlindungan hak warga negara untuk mendapatkan peradilan pidana yang cepat, sederhana, dan biaya ringan terwujud dengan jelas dari bunyi ketentuan Pasal 74 ayat 1 Sr. yang secara tegas menyebutkan bahwa jaksa/penuntut umum harus mengajukan penawaran sebelum dimulainya sidang perkara yang bersangkutan. Namun hal ini tidak sekaligus menutup kemungkinan tersangka yang melihat bahwa terhadapnya tidak diajukan transaksi, dapat mengajukan permohonan untuk itu terhadap jaksa/penuntut umum Tak, 2006. Persetujuan consent yang diberikan tersangka terhadap penawaran transaksi dari penuntut umum adalah bentuk informed consent karena tersangka telah memahami betul akibat atau dampak dari pilihannya untuk menerima atau menolak tawaran transaksi, dan tersangka juga berada pada posisi yang bebas memilih, tidak boleh ada paksaan atau tekanan dari penuntut umum. Dengan demikian, kritik terhadap mekanisme transaksi dari aspek asas praduga tidak bersalah menjadi sangat lemah dan tidak relevan lagi Albrecht, 2001. c. Penal OrderBerdasarkan amandemen terhadap Wetbook van Strafvordering / Sv. KUHAP Belanda yakni dengan menambahkannya Bab IVA, maka “prosecution through penal orders” yang diatur dalam Pasal 257 a – h Sv. mulai berlaku pada tahun 2008. Selain itu, Pasal 12 Sv. juga diamandemen untuk membuka peluang pihak yang dirugikan agar bisa mengajukan keberatan kepada pengadilan banding dan meminta kasus dibuka Kembali penuntutannya di pengadilan Brants-Langeraar, 2007. Penghentian penuntutan dengan syarat-syarat tertentu dan mekanisme transaksi akan dihapuskan. Tidak lagi mengarahkan pada tercapainya “kesepakatan”, penuntut umum harus menyampaikan kepada tersangka satu atau beberapa “perintah pidana” penal orders atau OM afdoening door strafbeschikking, gambaran tindak pidananya, dan rencana usulan pembayaran denda. Sebelum melakukan hal tersebut, penuntut umum harus “membuktikan kesalahan” tersangka, walaupun pengakuan tersangka atas kesalahannya tidak penting. Denda lebih dari € dan pengenaan pidana kerja sosial disampaikan penuntut umum kepada tersangka untuk mendengar tanggapannya Brants-Langeraar, 2007. Perintah dari penuntut umum tersebut memiliki status hukum sama seperti putusan oleh pengadilan Kempen, 2009. Penuntut umum dapat mengajukan beberapa perintah berikut ini kerja sosial taakstraf dengan maksimum 180 jam, denda boete, pengasingan dari masyarakat onttrekking aan het verkeer, pembayaran kepada negara untuk korban, dan pencabutan surat ijin mengemudi ontzegging van de rijbevoegdheid. Penuntut umum tidak berwenang memerintahkan pidana penjara, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 257a Sv Kempen, 2009. Tersangka dapat menolak perintah pidana dari penuntut umum tersebut, dengan mengajukan keberatan kepada pengadilan distrik, yang kemudian akan mendengar kasus tersebut secara keseluruhan; jika tersangka tidak mengajukan keberatan tersebut dalam waktu dua minggu, maka perintah tersebut dapat dilaksanakan secepatnya Brants-Langeraar, 2007. Dengan diberikannya hak kepada tersangka untuk menerima atau menolak perintah pidana dari penuntut umum tersebut, maka dinyatakan bahwa hak tersangka untuk mendapatkan peradilan yang independen dan tidak memihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 European Convention of Human Rights ECHR, telah dipenuhi Jacobs & Kampen, 2014. Mekanisme Perintah pidana tersebut dapat diterbitkan untuk tindak pidana-tindak pidana yang sejenis dapat diselesaikan dengan mekanisme P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 7 transaksi, dan syarat-syarat serta pidana yang diperintahkan dalam praktek juga bisa sama persis dengan syarat-syarat yang diajukan pada mekanisme transaksi Jacobs & Kampen, 2014. Penuntut umum sekarang memiliki satu tindakan baru yang dapat digunakan terhadap tersangka, yakni penyitaan Surat Ijin Mengemudi tersangka untuk waktu paling lama enam bulan, polisi juga dapat menerbitkan perintah pidana denda maksimum €225,- Pasal 257 b Sv. Jacobs & Kampen, 2014. Dalam pembahasan di Parlemen rancangan amandemen Pasal 257 Sv. tersebut, Menteri Kehakiman Belanda Minister of Justice menyampaikan bahwa daripada menerapkan mekanisme plea bargaining, lebih tepat bila diperkenalkan sebuah sistem yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum untuk mengenakan denda dalam bentuk perintah pidana Jacobs & Kampen, 2014. Mekanisme perintah pidana oleh penuntut umum tersebut akan mampu menangkap burung dengan satu batu pengadilan menjadi tidak terbebani dan akan ada pemidanaan yang lebih riil. Lebih lanjut lagi, akan mampu memecahkan persoalan terdakwa yang telah menerima mekanisme transaksi tapi masih belum juga membayar jumlahnya sekitar 25% ; karena transaksi meskipun secara substantif adalah denda, tapi secara formal kesepakatan tersebut tunduk pada hukum sipil, ketidakpatuhan terhadap kesepakatan transaksi akan dipecahkan dengan penuntutan itu sendiri atau dengan melalui mekanisme hukum perdata yang rumit Jacobs & Kampen, 2014. Dengan adanya sistem baru tersebut, pengenaan tuntutan denda adalah bagian dari proses penuntutan, dan denda itu sendiri adalah sebuah sanksi pidana, artinya penuntut umum dapat melaksanakan denda itu secara langsung Jacobs & Kampen, 2014. Mekanisme penal order juga tidak sempurna, banyak kritik yang disampaikan oleh para ahli. Dalam mekanisme penal order tidak dikenal adanya negosiasi sebelum diterbitkannya perintah tersebut, sehingga posisi tersangka adalah terjepit harus memilih menerima perintah tersebut atau menjalani proses persidangan. Dengan menerima perintah pidana tersebut, dapat diasumsikan tersangka telah bersalah, sedangkan jika memilih proses persidangan yang rumit dan lambat maka ia harus melawan rasa malu dan stigma negatif dari proses peradilan pidana. Oleh karena itu, mekanisme penal order sedikit banyak telah bertentangan dengan asas praduga tak bersalah atau presumption of innocent Jacobs & Kampen, 2014. Selain itu, dengan diberikannya kewenangan penuntut umum untuk mengeluarkan perintah pidana, maka akan terbentuk suatu badan penuntut umum yang memiliki kewenangan penuntutan, “mengadili”, dan pelaksanaan pemidanaan, seperti pada sistem peradilan pidana masa lampau yang telah lama hilang. Oleh karenanya, tidak ada kontrol external judisial yang mengatur situasi ketika perintah pidana tersebut dilaksanakan Jacobs & Kampen, 2014. Selain itu, semakin berat pula beban penuntut umum untuk bertindak jujur, transparan, tidak memihak. Menurut J. F. Nijboer, manfaat yang dapat dirasakan oleh negara Belanda, yang menerapkan mekanisme transaksi atau afdoening buiten proces secara meluas dalam hukum acara pidananya, sehingga hukum pidana seringkali dipandang dan digunakan sesuai asas subsidiaritas – hukum pidana sebagai ultimum remedium, adalah sebagai berikut 1. Semakin berkurangnya perkara yang masuk dalam sistem peradilan pidana. 2. Menurunnya frekuensi penggunaan pidana penjara. 3. Lebih pendeknya masa pidana penjara, yang mencerminkan adanya kebijakan pemidanaan yang berbeda atau praktek yang berbeda dari negara lain terkait pembebasan terpidana sebelum masa pemidanaan selesai.Nijboer, 1999 Hasil akhir dari semakin berkurangnya perkara yang masuk dalam sistem peradilan pidana, menurunnya frekuensi penggunaan pidana penjara, dan diperpendeknya masa pidana penjara adalah semakin berkurangnya penghuni penjara di Belanda. Hal itu merupakan fakta yang kontras dengan apa yang terjadi negara-negara Eropa lainnya. D. Downes mempublikasikan hasil penelitian yang sangat menarik pada tahun 1988, yang membandingkan kebijakan pidana di Inggris dan Wales di satu sisi dengan di Belanda pada sisi lain Nijboer, 1999. Berdasarkan data yang dipublikasikan Downes tersebut, terdapat perbedaan yang menyolok dalam angka rata-rata penggunaan pidana penjara antar negara-negara pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 8 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr Perbedaan tersebut semakin menyolok, dengan melihat pertentangan latar belakang yang pararel dengan meningkatnya angka kejahatan di kedua negara tersebut, artinya meskipun di Belanda angka kejahatan yang dilaporkan meningkat, hal yang sama juga terjadi di Inggris dan Wales, namun persentase perbandingan jumlah penghuni penjara dengan jumlah penduduk di Belanda tidak mengalami kenaikan secara signifikan Nijboer, 1999. Sedangkan di Inggris dan Wales, persentase perbandingan jumlah penghuni penjara dengan jumlah penduduk juga mengalami kenaikan secara signifikan seiring meningkatnya angka kejahatan yang dilaporkan. Meskipun terdapat beberapa indikasi yang menunjukan menurunnya kebijakan toleransi pemerintah Belanda terhadap kejahatan, namun negara ini tetap dinilai sebagai satu-satunya negara yang paling lembut reaksinya terhadap fenomena sosial yang disebut dengan kriminalitas Nijboer, 1999. Berdasarkan uraian kebijakan pengaturan diskresi kewenangan penuntutan di Belanda tersebut, maka terlihat adanya konsistensi tujuan sistem penuntutan inquisitorial yakni untuk menemukan kebenaran dan memberikan keadilan secara rasional, logis, dan analisis yang seimbang, dengan hasilnya yakni jaminan kelayakan penuntutan dan pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku dan tindak pidananya, bukan hanya memaksimalkan jumlah pemidanaan, dan kenyataan semakin bertambahnya beban penanganan perkara dan keterbatasan sistem peradilan pidana, baik kurangnya sumberdaya manusia maupun anggaran negara. Oleh karena itu, pengaturan diskresi kewenangan penuntutan di Belanda memberikan kesempatan bagi penuntut umum untuk memutuskan secara rasional, logis, dan analisis yang seimbang dalam setiap perkara yang ditangani melalui beragam bentuk pilihan metode penuntutan non prosecution, transaction, atau penal order yang sesuai asas kelayakan baik terhadap pelaku maupun tindak pidananya. Kondisi yang berbeda terjadi di Indonesia yang masih sangat kaku, baik pada level peraturan perundang-undangan ataupun kebijakan penuntutan yang masih mengejar jumlah penanganan perkara dan rata-rata pemidanaan, yang justru dampaknya semakin membebani sistem peradilan pidana. Berdasarkan rangkaian perubahan pertimbangan kebijakan pidana di Belanda berupa non prosecution, transaction dalam Pasal 74 Sr. dan dalam wet vermogensancties undang-undang tentang Sanksi Terhadap Harta Benda, dan penal order dalam revisi Wet Book van Strafvordering sehingga menghasilkan Pasal 257 a - h Sv. tersebut, maka telah terlihat ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan proses peradilan pidana dengan menerapkan asas kelayakan yakni penuntut umum harus memperhatikan faktor kepentingan publik dalam memutuskan untuk melakukan penuntutan dan memilih mekanisme penuntutan yang layak dengan kesalahan pelaku. Manfaat penerapan asas kelayakan berupa penyederhanaan sistem peradilan pidana tersebut adalah menjadi lebih efektifnya sistem peradilan pidana. Penyederhanaan sistem peradilan pidana sangat dibutuhkan dalam keadaan munculnya berbagai persoalan terkait peningkatan jumlah dan kualitas perkara yang masuk untuk diproses di pengadilan, sehingga pengadilan tidak terbebani dengan perkara-perkara minor dan tetap ada pemidanaan yang riil dan layak dengan kesalahan dalam tindak pidana minor, dan sumber daya penegak hukum dapat lebih difokuskan untuk penanganan perkara-perkara yang lebih berat. Inggris dan Wales Berbeda dari Belanda dengan sistem penuntutan inquisitorial, Inggris dan Wales adalah negara-negara dengan sistem penuntutan adversarial sebagaimana dalam tradisi hukum common law yang menerima asas kelayakan dan asas oportunitas sehingga dasar pelaksanaan diskresi kewenangan penuntutan tidak hanya diberikan kepada penuntut umum ataupun pejabat seniornya, tetapi konsisten di dalam sistem hukumnya. Bahkan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penuntutan, tidak secara eksklusif menjadi tanggungjawab penuntut umum. Banyak sekali keputusan untuk tidak melakukan penuntutan diambil oleh polisi sehingga sulit dilakukan kontrol pengawasannya. Polisi diberikan kewenangan untuk tidak melakukan tindakan lebih lanjut, memberikan peringatan informal, atau peringatan yang tercatat P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 9 tanpa harus memberitahukannya kepada CPS Crown Prosecution ServiceKyprianou, Konsistensi diskresi kewenangan penuntutan dalam sistem hukum di Inggris dapat dilihat pada sejarah sistem penuntutan di Inggirs. Inggris awalnya tidak memiliki lembaga yang khusus berfungsi melakukan penuntutan, penuntutan juga dapat dilakukan oleh individu personal atau privat, sehingga menimbulkan persoalan efisiensi dan kesulitan pembuktian kesalahan dan pemidanaan pelaku, dan seringkali memancing hakim untuk aktif bertindak seperti penuntut umum yang melanggar prinsip judicial impartiality Summers, 2007. Berdasarkan Marian Statutes 1555 dibentuk Justices of the Peace JPs sebagai penuntut umum, yang dipilih oleh Royal Commission untuk setiap daerah dan setiap kota dengan tugas melakukan penegakkan hukum terhadap kejahatan di Inggris Langbein, 1973. Setiap individu JPs juga memiliki tanggungjawab yang sangat penting dalam proses penghentian penyelesaian perkara pidana di luar persidangan, untuk memerintahkan penahanan tersangka, melakukan penuntutan sampai ke persidangan, dan melakukan pembebasan tersangka yang ditahan berdasarkan penundaan persidangan atas jaminan Langbein, 1973. Selain itu, Polisi juga bertanggungjawab terhadap penuntutan suatu perkara yang dapat dilakukannya dengan menunjuk beberapa pengacara lokal yang berpengalaman, sehingga tidak ada keseragaman dan kepastian pengawasan kebijakan penuntutan secara nasional Langer et al., 2016. Baru pada Oktober 1986, Crown Prosecution Service melaksanakan fungsinya untuk melakukan penuntutan di Inggris, sebagai reaksi terhadap rangkaian tindakan oleh Polisi yang mencederai keadilan dalam manipulasi bukti-bukti dan penekanan oleh Polisi, sehingga apabila Polisi akan melakukan penuntutan maka harus diuji dulu oleh CPS, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat 8 Prosecution of Offences Act Tahun 1985 Luna & Wade, 2010. Attorney General dapat menghentikan proses penuntutan yang sedang berjalan yang biasanya diinisiasi oleh pihak pribadi atau privat apabila penuntutan tersebut dinilai bertentangan dengan kepentingan kerajaan dan tidak terlalu penting Krauss, 2012. Kewenangan Attorney General untuk menghentikan penuntutan yang sedang berjalan tersebut merupakan instrumen prosedural yang tidak dapat diuji oleh pengadilan berdasarkan teori the separation of prosecutorial powers bahwa eksekutif memiliki wewenang kontrol terhadap penanganan perkara dan berdasarkan kondisi faktual semakin beratnya beban sistem peradilan pidana sehingga penuntut umum harus memprioritaskan penuntutan antara beberapa perkara Tak, 2006. Oleh karena itu, sistem penuntutan di Inggris menarik untuk dicermati. Tidak seperti sistem penuntutan di negara-negara Eropa Barat lainnya, Crown Prosecution Service berada pada posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan Kepolisian, dalam hal penggunaan diskresi kewenangan penuntutan untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan. Padahal sesungguhnya berdasarkan tradisi common law, sistem penuntutan di Inggris dan Wales memberikan ruang yang luas bagi penerapan diskresi kewenangan penuntutan untuk dihentikannya penuntutan suatu kasus dengan alasan kepentingan publik. Diskresi kewenangan penuntutan diatur melalui mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan melalui mekanisme cautioning, reprimands and warning, dan deferred prosecution agreements berikut ini a. Mekanisme cautioning dan reprimands and warningPenuntut umum di Inggris, berwenang menghentikan penuntutan suatu kasus dengan pertimbangan kepentingan publik, tapi penelitian menunjukan bahwa penuntut umum kurang sukses dalam melaksanakan diskresi kewenangannya tersebut. M. Mc Conville, A. Sanders dan Leng Kyprianou, menemukan bahwa CPS jarang menghentikan penuntutan dengan dasar kepentingan publik, tapi saat ini, penghentian penuntutan oleh CPS mulai meningkat, namun seringkali dilakukan untuk kasus yang tidak penting dan sering juga didasarkan atas penghitungan biaya. Hal itu terjadi karena kontrol polisi atas informasi dan konstruksi kasusnya dibangun menjadi benar-benar sulit bagi penuntut umum untuk mengidentifikasi kasus-kasus yang dapat diberikan peringatan saja pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 10 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr 2020.Kyprianou, Beberapa faktor yang dapat ditunjuk sebagai dasar diberikannya peringatan atau tindakan lain pengganti tidak dilakukannya penuntutan lebih lanjut seringkali dihapuskan dalam file, atau fakta-fakta tersebut tidak ditunjukan oleh polisi karena gagalnya memberikan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dalam tahap penyidikan McConville et al., 1996. Berdasarkan Pasal 23 Criminal Justice Act tahun 2003, syarat-syarat dan kriteria untuk dapat dilaksanakannya diskresi kewenangan penuntutan untuk menuntut atau tidak melakukan penuntutan telah dimodifikasi yakni 1 Penegak hukum jaksa dan polisi memiliki bukti-bukti bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana. 2 Adanya keyakinan penuntut umum bahwa terdapat cukup bukti untuk menuntut terdakwa karena melakukan tindak pidana dan peringatan bersyarat sebelumnya telah diberikan kepada terdakwa terkait tindak pidana yang dilakukannya. 3 Pelaku telah mengakui kepada polisi atau jaksa bahwa ia telah melakukan tindak pidana. 4 Penegak hukum polisi dan jaksa sebelumnya telah menjelaskan pengaruh peringatan bersyaratnya kepada pelaku dan memperingatkan pelaku tentang akibat gagalnya untuk memenuhi segala persyaratan yang dilampirkan dalam peringatan adalah bisa membawa dilakukannya penuntutan terhadap tindak pidananya. 5 Pelaku menandatangani dokumen peringatan yang berisi a. Detail tindak pidananya. b. Pengakuan oleh pelaku bahwa ia telah melakukan tindak pidana tersebut. c. Pelaku setuju untuk diberikan peringatan bersyarat tersebut, dan d. Rincian syarat-syarat yang dilampirkan dalam peringatan tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah untuk menjamin bahwa pelaku benar-benar telah bersalah dan pasti akan dihukum jika dilakukan penuntutan, karena surat peringatan tersebut sebenarnya adalah pengakuan bersalah yang bisa dicatat oleh pengadilan. Mekanisme peringatan ini dipergunakan oleh polisi untuk menyelesaikan hampir 30% dari seluruh kasus yang dilaporkan kepada polisi Tak, 2006. Di Inggris, untuk mengatur penggunaan penyelesaian perkara di luar persidangan, maka Pemerintah Inggris telah menerbitkan Code for Crown Prosecutors tahun 2000 berdasarkan Pasal 10 the Prosecution of Offences Act POA tahun 1985. Code for Crown Prosecutors tersebut menentukan bahwa sebelum melakukan penuntutan, ada dua syarat yang harus dipenuhi yakni terpenuhinya tes pembuktian the evidential test sehingga ada prospek keyakinan terbuktinya dakwaan tersebut secara realistis realistic prospect of conviction, serta penuntutan tersebut hanya boleh dilakukan jika kepentingan publik menghendaki the public interest test. Syarat tes kepentingan publik tersebut meliputi tingat kesalahan pelaku peran dalam keturutsertaan, adanya perencanaan, keadaan bahaya pada korban, dampaknya pada masyarakat. Selain itu, penuntut umum harus memperhatikan apakah penuntutan adalah respon yang layak bagi tindak pidana tersebut yakni penuntutan yang akan dilakukan harus sesuai dengan cara-cara yang konsisten dengan prinsip-prinsip penanganan perkara yang efektif. Kriteria-kriteria lain untuk dapat diterapkannya mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan adalah berdasarkan the Crime and Disorder Act tahun 1998, yakni polisi dapat menghentikan proses hukum acara pidana lebih lanjut dengan menerbitkan Surat “Peringatan” cautioning terhadap pelaku dewasa, dan Surat “Teguran dan Peringatan” reprimands and warning terhadap pelaku remaja. “Peringatan” terhadap pelaku dewasa tersebut diberikan oleh polisi jika telah ada bukti yang cukup sebagai dasar dilakukannya penuntutan, pelaku mengakui kesalahannya, dan pelaku menyetujui prosedur yang ditetapkan. Selain itu pelakunya juga harus orang yang sudah cukup tua atau lemah, sakit mental, menderita beberapa penyakit fisik, atau menderita beberapa penyakit mental. b. Deffered Prosecution Agreements DPABerdasarkan Crimes & Court Act tahun 2013 yang berlaku sejak Februari 2014, maka penuntut umum dapat menerapkan mekanisme Deffered Prosecution Agreements DPA untuk menyelesaikan perkara suap, korupsi cheating the public revenue, fraud, dan tindak pidana ekonomi lainnya yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum privat, karena mekanisme DPA ini tidak dapat diterapkan kepada subyek hukum orang natural person. Crown Prosecution Service P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 11 CPS dan Serious Fraud Office SFO menerbitkan DPA Code of Practise sebagai pedoman bagi penuntut umum untuk melaksanakan mekanisme DPA tersebut, yang pada intinya bahwa semua sanksi keuangan yang diajukan oleh penuntut umum dalam DPA harus benar-benar dapat diperkirakan sebanding dengan sanksi yang akan dijatuhkan oleh hakim saat terdakwa mengakui kesalahannya court conviction guilty plea, bukan sanksi yang akan dijatuhkan oleh hakim pada terdakwa ketika ia kalah dalam pembuktian court conviction contested trial. Kesepakatan dalam DPA dapat tercapai antara penuntut umum dan badan hukum korporasi sehingga penuntut umum dapat menunda proses penuntutan dalam waktu tertentu sampai badan hukum tersebut mampu memenuhi sejumlah persyaratan seperti penyerahan keuntungan illegal, membayar denda, ganti rugi, dan biaya-biaya, bekerjasama dalam penuntutan terhadap orang pribadi yang terlibat, implementasi program-program kepatuhan perusahaan pada peraturan yang dilaksanakan dalam pengawasan penuntut umum. Kesepakatan yang tercapai antara penuntut umum dengan badan hukum tersebut harus mendapatkan persetujuan oleh hakim. Mekanisme DPA memberikan fungsi checks and balances yang tepat kepada hakim pada tahap persiapan pembahasan dan hasil akhir kesepakatan dalam DPA tersebut Organisation for Economic Cooperation and Development OECD, 2017. Persetujuan oleh hakim tersebut dibutuhkan untuk menguji terpenuhinya kepentingan publik dalam kesepakatan DPA tersebut, dan sanksi pidana yang disepakati dalam DPA benar-benar telah proporsional dengan kesalahan badan hukum Organisation for Economic Cooperation and Development OECD, 2017. Asas kelayakan muncul dalam norma Pasal 45 Schedule 17 part 1, angka 7 dan 8 Crimes & Court Act tahun 2013 dan menjadi pedoman bagi hakim yang menilai poin-poin kesepakatan antara penuntut umum dan badan hukum yakni terpenuhinya kepentingan publik dalam kesepekatan DPA tersebut untuk mewujudkan keadilan. Asas kelayakan juga muncul dalam Deferred Prosecution Agreements Code of Practice yang diterbitkan oleh CPS dan SFO, yakni keharusan bagi Penuntut umum untuk benar-benar memperhatikan kepentingan publik public interest test, selain terpenuhinya alat bukti kesalahan badan hukum evidential test, dalam memutuskan untuk menerapkan mekanisme DPA tersebut. Manfaat yang dapat dirasakan karena menerapkan mekanisme DPA tersebut adalah terhindarnya dari proses persidangan pidana yang lama dan tidak pasti hasilnya, biaya mahal, dan rumit, dan juga sebagai imbalan kepada perusahaan karena melaporkan sendiri tindak pidana tersebut sehingga perusahaan terhindar dari kerugian-kerugian yang timbul secara tidak disengaja seperti hancurnya harga saham yang berdampak pada pekerja yang tidak bersalah, investor, pensiunan, dan pelanggan. Kelemahan penggunaan mekanisme DPA tersebut adalah lemahnya pengawasan terhadap proses pengungkapan fakta-fakta secara menyeluruh karena awal penyelidikan perkara ini sering dimulai dari perusahaan sendiri yang melaporkan, sehingga rentan terhadap tindakan disembunyikannya fakta-fakta tertentu yang relevan Dunn, Pada tahun 2013, dalam konteks tindak pidana dengan pelaku orang nature person, perlindungan hak korban seperti hak mendapatkan pemulihan dampak tindak pidana atau ganti rugi dan hak meminta dibukanya kembali penghentian penuntutan oleh penuntut umum telah dinyatakan berlaku Novokmet, 2016. Perlindungan hak korban untuk meminta dibukanya kembali penuntutan tersebut dinyatakan berlaku dalam pernyataan putusan Pengadilan Banding dalam kasus R v Christopher Killick 2011, EWCA Crim 1608, yang menyatakan bahwa keputusan untuk tidak melakukan penuntutan dalam kenyataannya merupakan hak korban. Pada level internasional, terdapat Pasal 11 Directive 2012/29/EU dari Parlemen Eropa dan Konsul Eropa tanggal 25 Oktober 2012 yang dengan tegas melindungi hak korban untuk meninjau ulang keputusan dihentikannya penuntutan suatu perkara Novokmet, 2016. Selain ketentuan Pasal 11 Directive 2012/29/EU, terdapat juga ketentuan Pasal 14 ayat 1 ICCPR yang menegaskan bahwa setiap orang wajib sama di hadapan pengadilan, dalam penentuan sanksi pidana terhadapnya, atau hak-hak dan kewajiban-kewajibanya pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 12 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr berdasarkan hukum, setiap orang harus mendapatkan peradilan yang fair, terbuka untuk umum, independen, dan tidak memihak berdasarkan hukum. Perlindungan hak korban untuk meminta dibukanya kembali penuntutan kepada hakim merupakan bentuk perwujudan prinsip fair trial karena hak untuk mendapatkan proses persidangan yang adil fair trial bukan absolut menjadi hak tersangka namun juga hak setiap warga negara, korban, dan saksi-saksiBrants & Franken, 2009. Berdasarkan Pasal 14 ayat 1 ICCPR, pertimbangan putusan Pengadilan Banding dalam kasus R v Christopher Killick 2011, Pasal 11 Directive 2012/29/EU, dan Pasal 45 Schedule 17 Crimes & Court Act tahun 2013 tersebut, maka semua mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Inggris dan Wales dapat dinilai tidak bertentangan dengan prinsip fair trial. Semua mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan tersebut tetap menjamin kebebasan semua pihak tersangka, korban, masyarakat, dan penuntut umum untuk memilih langkah-langkah terbaik bagi kepentingan mereka dalam suatu sistem peradilan pidana. Sejarah sistem penuntutan di Inggris dan Wales memperlihatkan bahwa mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan telah melekat dalam sistem hukumnya melalui praktek-praktek penanganan setiap perkara dan telah berkembang atau disempurnakan melalui pengaturannya dengan beberapa undang-undang seperti Marian Statutes tahun 1555, Prosecution of Offences Act tahun 1985, Criminal Justice Act tahun 2003, Crimes & Court Act tahun 2013, Code for Crown Prosecutors 2013, Deferred Prosecution Agreements Code of Practice 2013. Berdasarkan rangkaian perubahan pertimbangan kebijakan pidana mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan tersebut, maka terlihat ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan yakni keharusan bagi Penuntut umum untuk benar-benar memperhatikan kepentingan publik public interest test dalam memutuskan menerapkan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan sehingga sumber daya penegak hukum dapat lebih difokuskan untuk penanganan perkara-perkara yang lebih berat. Indonesia Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami masa penjajahan oleh Belanda, sebagai konsekuensi asas konkordansi maka sistem hukum yang berlaku di Indonesia saat ini sebagian besar masih merupakan warisan negara Belanda, termasuk sistem penuntutannya. Sama seperti Belanda, sistem hukum Indonesia juga dapat digolongkan sebagai mengikuti tradisi civil law dan dengan sistem penuntutan inquisitorial. Oleh karena itu, sistem hukum Indonesia mengikuti filosofi penuntutan mandatori, yang biasa dikenal implementasinya dengan asas legalitas. Dengan demikian, diskresi kewenangan penuntutan dalam sistem hukum Indonesia yang menganut asas legalitas adalah sebuah pengecualian dari aturan umum berdasarkan asas legalitas, maka keputusan untuk tidak melakukan penuntutan relatif dilakukan dengan kontrol yang sangat ketat jika dibandingkan dengan negara-negara yang mengikuti tradisi common law seperti Amerika, Inggris dan Wales. Pengaturan kewenangan penuntutan di Indonesia dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 6 huruf a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menyebutkan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian Pasal 1 angka 6 huruf b. KUHAP menyebutkan Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Norma Pasal 1 angka 6 huruf b. KUHAP tersebut sama persis terjadi duplikasi dengan Pasal 13 KUHAP. Selanjutnya dalam Pasal 14 KUHAP tentang kewenangan penuntut umum pada poin g dan h disebutkan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan dan menutup perkara demi kepentingan hukum. Sedangkan dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a. menyebutkan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 13 karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Diskresi kewenangan penuntutan baru dapat ditemukan dalam Pasal 35 huruf c. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan suatu perkara atas dasar kepentigan umum asas opportunitas. Dari semua ketentuan penuntutan dalam KUHAP maupun dalam Undang-undang lainnya, telah jelas bahwa jaksa/penuntut umum saat ini tidak memiliki diskresi kewenangan untuk menghentikan ataupun mengenyampingkan perkara karena perkara tindak pidana tersebut bersifat ringan. Jorg-Martin Jehle menjelaskan sebagai berikut ... in accordance with strict principle of legality the prosecuting authority merely has the function of preparing a case for court. Here the input is identical to the out put; all cases have to be brought before a court - except evidentially insufficient cases etc. Which can, of course, be dropped in accordance with the principle of legalityJehle, 2005. Penulis sependapat dengan Jorg-Martin Jehle tentang batasan dan pengertian ruang lingkup asas legalitas dengan asas oportunitas, bahwa suatu kasus tindak pidana yang dihentikan karena kurangnya alat bukti, terdakwa meninggal dunia, mematuhi asas ne bis in idem, dan karena kedaluarsa adalah alasan penghentian penuntutan yang dilakukan masih dalam kerangka asas legalitas atau masih sesuai dengan asas legalitas. Sedangkan penghentian penuntutan suatu kasus tindak pidana yang didasarkan pada asas oportunitas adalah penghentian suatu kasus tindak pidana berdasarkan asas kelayakan atau expedience principle yang menjadikan kepentingan umum sebagai pertimbangan utama reason of public interest dan berdasarkan teori subsosialitas Pasal 9a Sr. yakni kecilnya arti suatu perbuatan yang dapat dilihat dari tingkat kerugian, kerusakan, bahaya atau tercelanya suatu perbuatan pidana dan perilaku pelaku, serta kondisi-kondisi pada waktu tindak pidana dilakukan, dijadikan suatu ukuran patut tidaknya suatu perbuatan tersebut untuk dipidana. IV. KESIMPULAN Ciri dianutnya asas legalitas secara kaku dapat kita temukan di Indonesia yakni penuntut umum hanya berwenang untuk melaksanakan fungsi menyiapkan perkara untuk disidangkan di pengadilan, sehingga input dan output dalam sistem peradilan pidana adalah identik, karena semua perkara harus dibawa ke depan persidangan kecuali kasus tersebut tidak cukup bukti, atau perkara itu harus ditutup demi hukum yakni alasan kedaluarsa, ne bis in idem, dan terdakwa telah meninggal dunia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 huruf h KUHAP dan Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP. Diskresi kewenangan penuntutan yang terwujud dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” tersebut, hanyalah implementasi asas oportunitas secara negatif. Rumusan Pasal 35 huruf c tersebut memperlihatkan adanya kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara sebagai implementasi asas oportunitas yang diterima dalam hukum acara pidana Indonesia, namun asas oportunitas tersebut terwujud secara negatif karena pengaturannya sangat dibatasi hanya Jaksa Agung saja yang boleh mengesampingkan perkara dengan alasan “kepentingan umum”. Selain itu, pertimbangan subsosialitas juga belum diadopsi dalam hukum pidana kita. Implementasi asas oportunitas secara negatif juga dapat dilihat dalam Pasal 82 KUHP yang mengatur tentang mekanisme transaksi di Indonesia yakni kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya. Apabila disamping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat yang ditunjuk. Selain itu, dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, pada ayat 1 menyebutkan bahwa untuk kepentingan penerimaan pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 14 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan. Kemudian pada ayat 2 disebutkan bahwa penghentikan penyidikan tersebut jika yang bersangkutan telah melunasi bea masuk yang tidak atau kurang bayar, dan membayar denda sebagai sanksi administrasi yang besarnya empat kali jumlah bea masuk yang tidak atau kurang dibayar. Menurut pendapat penulis, kewenangan penghentian penyidikan ini oleh Jaksa Agung merupakan salah satu bentuk transaksi selain dari Pasal 82 KUHP, yang dilaksanakan atas dasar asas oportunitas. Namun sekali lagi terwujud dalam bentuk negatif karena harus dilakukan berdasarkan permintaan Menteri Keuangan, dan hanya Jaksa Agung yang berwenang bukanlah setiap personil jaksa. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa mekanisme afdoening buiten proces atau transaksi yang diatur dalam Pasal 82 KUHP ini masih sepadan dengan Pasal 74 Sr., yakni penerapannya masih terbatas pada pelanggaran yang diancam pidana denda. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 82 KUHP, mekanisme transaksi ini tidak bisa dilakukan terhadap tindak pidana yang bersifat ringan atau kejahatan kecil atau yang ringan akibatnya. Sebagai penutup bagian ini, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan analisis pertimbangan kebijakan pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris tersebut, maka terlihat ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan. Keadaan berbeda terjadi pada sistem peradilan pidana Indonesia karena sangat tidak efisien, tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Solusi atas persoalan tersebut adalah penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan yakni keharusan bagi Penuntut umum untuk benar-benar memperhatikan kepentingan publik public interest test dalam memutuskan menerapkan mekanisme peneyelesaian perkara pidana di luar persidangan sehingga sumber daya penegak hukum dapat lebih difokuskan untuk penanganan perkara-perkara yang lebih berat. V. SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disampaikan rekomendasi bahwa asas kelayakan perlu segera diterima dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan cara mengadopsi teori subsosialitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 9a Sr. dan mengadopsi mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di luar persidangan dalam bentuk transaksi dengan model komposisi, dengan disertai adanya modifikasi penambahan pokok-pokok pemikiran adaptasi bagi sistem hukum Indonesia VI. REFERENSI Albrecht, H. J. 2001. A Comparative Study of European Criminal Justice Systems. South African Law Commission. Asshiddiqie, J. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Studi tentang Bentuk-bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional. Angkasa. Brants-Langeraar, C. H. 2007. Consensual Criminal Procedures Plea and Confession Bargaining and Abbreviated Procedures to Simplify Criminal Procedure. Electronic Journal of Comparative Law EJCL, 111, 21. Brants, C., & Franken, S. 2009. The Protection of Fundamental Human Rights in Criminal Process. Utrecht Law Review, 52, 56. Crijns, J. H. 2011. Witness Agreements in Dutch Criminal Law. Seminar Internasional Dan Focus Group Discussion Tentang The Protection of Whistleblowers as Justice Collaborators, 2. Dunn, G. 2015 Year End Update on Corporate Non Prosecution Agreements and Deferred Prosecution Agreements. Jacobs, P., & Kampen, P. van. 2014. `Dutch `ZSM Settlements` in the Face of Procedural Justice The Sooner the Better`. Utrecht Law Review, 104, 75. P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 15 Jehle, 2005. The Function of Public Prosecution from a European Comparative Perspective How International Research Can Contribute to the Development of Criminal Justice. Konferensi UNDP-POGAR, 7. Kempen, P. H. van. 2009. The Protection of Human Rights in Criminal Law Procedure in The Netherlands. Electronic Journal of Comparative Law, 132, 12. Krauss, R. 2012. The Theory of Prosecutorial Discretion in Federal Law Origin and Developments. Seton Hall Circuit Review, 61, 2. Kyprianou, D. Comparative Anaysis of Prosecution Systems Part II The Role of Prosecution Services in Investigation and Prosecution Principles and Policies. Langbein, J. H. 1973. The Origins of Public Prosecution at Common Law. American Journal Of Legal History, XVII, 318. Langer, Maximo, Sklansky, & Alan, D. 2016. Prosecutors and Democracy A Cross-Nation Study. Cambridge University Press. Luna, E., & Wade, M. 2010. Prosecutors as Judges. Washington and Lee Law Review, 674, 1429. McConville, M., Sanders, A., & Leng, R. 1996. Prosecution in Common Law Jurisdictions. Aldershot. Nijboer, J. F. 1999. Introduction To Dutch Law 3rd Kluwer Law International. Novokmet, A. 2016. The Right of a Victim to a Review of a Decision not to Prosecute as Set out in Article 11 of Directive 2012/29/EU and an Assessment of its Transposition in Germany, Italy, France and Croatia. Utrecht Law Review, 121, 87. Organisation for Economic Cooperation and Development OECD. 2017. Implementing The OECD Anti-Bribey Convention, Phase 4 Report United Kingdom. Organisation for Economic Cooperation and Development. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan Kelima. Kencana. Remmelink, J. 2003. Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padananya dalam Kitab Undang-Undang Hukum, translated Tristam Pascal Moeljono Pidana Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Saifullah. 2004. Konsep Dasar Metode Penelitian Dalam Proposal Skripsi. UIN Malang. Summers, S. J. 2007. Fair Trials, The European Criminal Procedural Tradition and The European Court of Human Rights. Hart Publishing. Tak, P. J. P. 2003. The Dutch Criminal Justice System Organization and Operation 2nd Editio. Boom Juridische. Tak, P. J. P. 2006. Methods of Diversion Used By the Prosecution Service in the Netherlands and Other Western European Countries. 135th International Senior Seminar Visiting Experts` Papers, Hosted by the United Nations Asia and Far East Institute UNAFEI for the Prevention of Crimes and the Treatment of Offender, 54. UN Office on Drugs and Crime. 2007. Handbook of Basic Principles and Promising Practices on Alternatives to Imprisonment. UN Publication. ... . Di Indonesia, kebijakan kriminal diwujudkan melaluiUndang-Undang No. 1 tahun 1946 KUHP. Kebijakan pidana muncul sebagai pelindung masyarakat atau social defense dari ancaman tindak kejahatan oleh suatu pihakNawawi 2016.Keberadaan hukum pidana di Indonesia menjadi dasar wewenang negara yang sah sebagai negara hukum untuk mengatur perbuatan-perbuatan tertentu yang memiliki akibat pidana dengan ancaman hukumZunaidi dan Najih 2020. Hukum muncul berdasarkan konfigurasi politik dan kondisi kemasyarakatan pada suatu wilayah tertentu, karena hukum muncul sebagai salah satu alat untuk menjaga harmonisasi masyarakat Anggoro dan Dwiranda 2019. ...Fendi AntoFebriana Nur WidyaningsihSuratman SuratmanMoh. MuhibbinLaw appears in accordance with the political and social configuration of a certain period. This fact indicates that the law continues to require renewal. One of the proofs that the law cannot reach people's lives which continues to develop is the emergence of Emergency Law no. 12 of 1951. The emergency law emerged as a renewal of the Republic of Indonesia Law No. 8 of 1948, and changed the Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen sbtl. 1948 No. 17. At certain times the emergency law was the right solution, but now the law that has not been updated can cause problems. One of the problems that arise is the ambiguity of the "without rights" element in the use of sharp weapons. The law does not specify which party has the right or the right to not use sharp weapons. In order for the law to continue to be used, a ratio legis is needed. This study aims to examine 1 the ratio of the elements of "without rights" in Article 2 of Law no. 12 of 1951, and 2 the configuration of the concept of Article 2 of Law no. 12 Year 1951 which is ideal in the future. This research is juridical-normative research with a statutory approach. The technique of analyzing legal materials is done by qualitative descriptive. The results of this study include, 1 the phrase "without rights" needs to be specified so as not to cause multiple interpretations, and 2 Law no. 12 of 1951 is no longer relevant to use. Ante NovokmetDirective 2012/29/EU represents a decisive step at the EU level to ensure minimum standards on the rights, support and protection of victims of crime. One of the specific rights of a victim which is promulgated in the Directive is the right to a review of a decision not to prosecute which is laid down in Article 11. The aim of this paper is to analyse selected European models of review of a decision not to prosecute in criminal proceedings in, respectively, Germany, Italy, France and Croatia. Taking Directive 2012/29/EU as a starting point, this article aims to answer the question as to how well the selected legal systems comply with Article 11 and to indicate possible disputes with some traditional principles of criminal procedural law that may arise in the course of implementing the European provisions in national law. Pauline JacobsPetra Van KampenThe Dutch ZSM’ project was launched in March 2011 and implemented nationwide in 2013. Its official aim is to conclusively deal with frequently occurring crime cases in a rapid, astute, selective, simple and society-oriented way, paying due attention to the interests of defendants, victims and society alike. The underlying assumption of the ZSM – and its accompanying focus on the speedy out-of-court resolution of criminal cases that do not necessarily merit the attention of the courts – is that speed’ is beneficial to all involved to defendants, to victims, to the police and the Prosecution Service and to society as such. The question that concerns the authors is whether that assumption is correct. Does a speedy out-of-court resolution indeed do justice to all involved, and particularly defendants and purported victims? In this contribution, the Dutch ZSM process and its focus on the speedy out-of-court resolution is analyzed from the perspective of both the requirements of Article 6 of the European Convention and the social-scientific notion of procedural justice. van KempenThis contribution elaborates on the influence of human rights standards on the system of criminal procedure in the Netherlands and analyses and comments on developments within that system. To that end, it extensively explains and discusses the relevant international and regional fundamental rights instruments, the organisation of criminal justice and the system of criminal procedure in the Netherlands, the position of human rights in Dutch criminal procedure, and the most important changes within criminal procedure that might effect the realization of human rights in the Netherlands. It is stipulated that the Dutch criminal procedure system shows genuine concern for human rights. Where fundamental rights are insufficiently provided for in domestic law this is in general adequately counterbalanced by applying international human rights standards. The case law of the European Court of Human Rights in particular exerts a prodound influence in this regard. Nevertheless, some fundamental changes in criminal procedure in the Netherlands have occurred in the last decade or so, prompted by terrorism, organised crime and the wish to make the criminal justice system more efficient. This has also affected the position of the courts, the prosecution, the defence and victims and how the system safeguards human rights. All changes seem to be in conformity with the human rights standards as set by international organizations such as the Council of Europe and the United Nations. Nevertheless, the legislator, the administration and the courts these days seem to have other concerns than only trying to provide the best human rights standard possible. As a result, fundamental rights seem increasingly to function only as absolute minimum conditions which have to be met, and less and less as guiding principles, the generous fulfilment of which is an aspiration for legislation, policy and practice. Chrisje BrantsFranken StijnThis contribution examines the effect of the uniform standards of human rights in international conventions on criminal process in different countries and identifies factors inherent in national systems that influence the scope of international standards and the way in which they are implemented in a national context. Three overreaching issues influence the reception of international fundamental rights and freedoms in criminal process constitutional arrangements, legal tradition and culture, and practical circumstances. There is no such thing as the uniform implementation of convention standards; even in Europe where the European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms and the case law of the European Court play a significant role, there is still much diversity in the actual implementation of international norms due to the influence of legal traditions which form a counterforce to the weight of convention obligations. An even greater counterforce is at work in practical circumstances that can undermine international norms, most especially global issues of security, crime control and combating terrorism. Although convention norms are still in place, there is a very real risk that they are circumvented or at least diluted in order to increase effective crime control. Maximo SklanskyFocusing on the relationship between prosecutors and democracy, this volume throws light on key questions about prosecutors and the role they should play in liberal self-government. Internationally distinguished scholars discuss how prosecutors can strengthen democracy, how they sometimes undermine it, and why it has proven so challenging to hold prosecutors accountable while insulating them from politics. The contributors explore the different ways legal systems have addressed that challenge in the United States, the United Kingdom, and continental Europe. Contrasting those strategies allows an assessment of their relative strengths - and a richer understanding of the contested connections between law and democratic politics. Chapters are in explicit conversation with each other, facilitating comparison and deepening the analysis. This is an important new resource for legal scholars and reformers, political philosophers, and social H LangbeinHowever fundamental he may appear to us, the public prosecutor was an historical latecomer. Judge and jury we can trace back to the high Middle Ages. But the prosecutor became a regular figure of Anglo-American criminal procedure only in Tudor times. Further, his appearance then has not been noticed in our historical literature, an especially remarkable omission when we discover that the prosecutorial office was originally lodged with a much-studied institution, the English magistracy. Ever since Maitland coined his famous phrase, that under the Tudors and Stuarts the justices of the peace became the "rulers of the county," they have attracted a substantial scholarship. Nevertheless, this major aspect of the work of the magistracy has remained unknown. The present article documents and accounts for the development by which the justices of the peace became the ordinary public prosecutors in cases of serious crime.

hukumitu sendiri. Berbeda dengan Inggris, Contempt of Court telah diatur dalam Peradilan Pidana di Indonesia Dengan Sidang Peradilan Pidana di Inggris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Contempt of Court, Profesi Hukum. Perbandingan konsep , Oktavia Sastray Anggriani, FH UI, 2012. ABSTRACT
Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem hukum yang ada. Dalam Black's Law Dictionary di definisikan " Comparative Jurisprudence is the study of the principles of legal science by the comparison of various systems of law " dalam hal ini yang diperbandingkan adalah dua atau lebih sistem hukum yang pidana positif Indonesia ialah berasal dari keluarga hukum CivilLaw System yang mementingkan sumber hukum dari peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Sementara Inggris menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan kebiasaan yang berlaku di sana. Kebiasaan tersebut dapat berupa Norma maupun putusan-putusan hakim sebelumnya. Selain perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem hukum pidana kedua negara sebenarnya memiliki kesamaan. Di Indonesia dikenal hukum pidana adat yang sampai saat ini masih diakui dan dipakai dalam masyarakat. Dilihat dari sumber hukumnya, sebenarnya hukum pidana adat tersebut berasal dari kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan sumber hukum common law yang berasal dari kebiasaan yang ada di masyarakat. Setiap sistem hukum, pasti memiliki asas-asas yang kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan hukumnya. Salah satu asas hukum yang sangat penting dan dimiliki oleh setiap sistem hukum adalah asas legalitas atau dikenal juga dengan asas " Nullum delictum, nulla poena, sina praevia lege poenali " .BAB II PEMBAHASAN A. Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia Dengan Asas Legalitas Inggris Asas Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini, tidak satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. a. Asas Legalitas di Indonesia Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi " tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan " .Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan
Sehinggadari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu: 1) Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim (yurisprudensi). Tulisan ini membahas mengenai perbandingan hukum pidana dalam tindak pidana terorismedari sudut pandang due process of law bagi pelaku tindak pidana terorisme, terdapatperbedaan yang signifikan terutama terkait sistem adversarial yang dianut sistem peradilanpidana australia dan inggris dibandingkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesiadimana perlindungan hak asasi pelaku lebih diperhatikan sehingga sistem peradilan pidana diAustralia dan Inggris lebih kondusif untuk menciptakan due process of writings discuss about comparative criminal law in the criminal acts of terrorism fromthe standpoint of due process of law for criminal acts, perpetrators of terrorism, there aresignificant differences, particularly regarding the subscribed adversarial system of criminaljustice system compared to english australia and criminal justice system in Indonesia whereprotection of rights observed until the perpetrator more fundamental criminal justice systemin Australia and England are more conducive to creating due process of law. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australia Terkait Dengan Due Process Of Law Bagi Pelaku Oleh Nur Rois * nurrois Abstrak. Tulisan ini membahas mengenai perbandingan hukum pidana dalam tindak pidana terorisme dari sudut pandang due process of law bagi pelaku tindak pidana terorisme, terdapat perbedaan yang signifikan terutama terkait sistem adversarial yang dianut sistem peradilan pidana australia dan inggris dibandingkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia dimana perlindungan hak asasi pelaku lebih diperhatikan sehingga sistem peradilan pidana di Australia dan Inggris lebih kondusif untuk menciptakan due process of law. These writings discuss about comparative criminal law in the criminal acts of terrorism from the standpoint of due process of law for criminal acts, perpetrators of terrorism, there are significant differences, particularly regarding the subscribed adversarial system of criminal justice system compared to english australia and criminal justice system in Indonesia where protection of rights observed until the perpetrator more fundamental criminal justice system in Australia and England are more conducive to creating due process of law. Kata Kunci ; tindak pidana terorisme, terorisme, sistem peradilan pidana, adversarial, perbandingan hukum, due process of law Keyword ; criminal act of terrorism, terrorism, criminal justice system, adversarial, comparative law. I. Pengantar Tata dunia internasional world order kerap kali berubah ketika terjadi suatu defining moment yang dramatis. Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, misalnya, segera diikuti dengan dimulainya era Perang Dingin. Ketika Tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, masyarakat internasional melihatnya sebagai awal dari lahirnya era Pasca Perang Dingin. Runtuhnya gedung World Trade Centre WTC di New York tanggal 11 September lalu akibat serangan teroris kini dilihat banyak pihak sebagai defining moment yang mengakhiri era Pasca Perang Dingin. Memang, tragedi 11 Septembermembawa implikasi fundamental * Penulis adalah Dosen PNSDpk di Universitas Baturaja Tragedi 11 September adalah peristiwa dimana 19 pembajak pesawat membajak 4 penerbangan sipil Amerika Serikat, 2 Pesawat ditabrakkan pada menara kembar World Trade Center New York, 1 pesawat ditabrakkan di gedung Pentagon dan 1 lagi peswat menjatuhkan dirinya di Shanksville terhadap situasi dan percaturan politik internasional. Bagi Amerika Serikat AS sendiri, peristiwa tersebut merupakan pukulan telak bagi supremasi adidaya, yang menuntut respon dalam bentuk “perang terhadap Bagi negara-negara lainya, selain menyadarkan mereka bahwa ancaman serius terhadap kemanusiaan dapat mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tragedi WTC dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari terbangunnya sebuah tatanan politik dunia yang ditandai oleh meningkatnya ancaman non-tradisional khususnya dalam bentuk terorisme dan hegemonisme AS sebagai adidaya Negara-negara lain perang terhadap terorisme yang dikomandoi Amerika telah membagi kedalam dua blok baru pasca perang dingin yaitu kawan atau lawan terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat, PBB sebagai lembaga pemersatu bangsa di dunia melalui United Nation Terrorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan merekomendasikan langkah-langkah penanggulangan secara komprehensif sebagai berikut; Aspek politik dan pemerintahan politic and government, Aspek ekonomi dan social economic and social , aspek psikologi, aspek komunikasi, pendidikan Psychology-communication, education, peradilan dan hukum judicial and law , aspek kepolisian dan system pemasyarakatan police and prison system , aspek intelijen intelligence, aspek militer military, aspek imigrasi immigration.Bagi Indonesia , sejak tahun 2002 tidak pernah sepi dari ancaman terror setiap tahunnya, bahkan menurut data intelijen Jam’ah Islmaiah JI dan organisasi teroris lain di Asia Tenggara masih aktif dan berbahaya, serangkaian bom terjadi di Indonesia pasca bom Pennsylvania, setidaknya ada kurang lebih 3000 korban jiwa dalam tragedi tersebut. Lihat diakses pada 03 Mei 2012 Rizal Sukma, “Keamanan Internasional Pasca 11 September Terorisme, Hegemoni AS, dan Implikasi Regional”, Makalah Pada Seminar Hukum Nasional, VIII Denpasar 14-18 Juli 2003, Denpasar, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003, Syahdatul Kahfi Editor, Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta, Spectrum, 2006 Bali 2002, walaupun aktor utama pemboman di Indonesia Dr Azhari dan Nurdin M Top sudah ditembak mati tetapi tampaknya ancaman terorisme di Indonesia tidak Overview a. Definisi Terorisme Definisi terorisme sendiri saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah banyak ahli yang medefinisikannya, dan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Secara umum kata “teroris” pelaku dan terorisme aksi berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan , tentu saja kengerian di hati dan pikiran “Terorisme” menurut Budi Hardimanpada 1970-an dikenakan pada fenomena dari bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan. Beberapa pemerintah menstigma musuh-musuhnya sebagai “teroris” sebuah istilah yang mudah dipolitisasi, terorisme merupakan fenomena dalam masyarakat demokratis atau masyarakat yang menuju transisi kesana. Didalam negara totaliter terorisme cenderung dilakukan oleh negara. Sejak 11 September 2001 terorisme menemukan bentuk barunya dalam memobilisasi konflik global dalam mengisi kekosongan pasca perang dingin yang mengerucut dalam opini politis “kawan” atau “lawan” dalam skala global perang terhadap terorisme. Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, disebutkan mengenai unsur-unsur tindak pidana terorisme sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan Abdul Wahid.,dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum Bandung, Refika Aditama, 2004, hal. 22 Budi Hardiman , “Terorisme Paradigma dan Definisi” dalam Rusdi Marpaung dan Al Araf, Terorisme Aksi dan Regulasi Jakarta, Imparsial, 2003 dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas terorisme menurut pemerintah Inggris sebagaimana dikutip oleh Craig T Cobaen dalam desertasinya adalah;“the use of violence for political ends, and included any use of violence for the purpose of putting the public or any section of the public in Hampir sama dengan pendapatnya, Austin T Turk seorang sosiologis dari University Of California mengatakan hubungan terorisme dengan politik sebagai berikut;“Terrorist acts are political, rarely in volving psychopathology or material deprivation. Indeed, the evidence is mounting that terrorism is associated with relative affluence and social advantage rather than poverty, lack of education, or other indicators of Jenny Hocking juga sependapat bahwa terorisme adalah sebagai aksi politis, “terrorism as a label simplifies the complex moral and political questions raised by any political Abdul Wahid. Dkk , Opcit Lihat Juga Undang-Undang No 1Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6 Craig T Cobaen, Terrorism and Democracy The Balance Between Freedom and Order; British Experience, Desertasi pada University of Cincinnati University of Cincinnati, Cincinnati 2003 Austin T Turk, “Sosiology of Terrorism”, artikel dalam Annual Review Of Sosiology 2004 , JSTOR , . diakses pada 25 Mei 2012 b. Definisi Due Process Of Law Dalam pelaksanaan peradilan pidana maka ada istilah yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana tersebut yakni “Due Process Of Law”, yang dalam bahasa Indonesia dapat kita terjemahkan sebagai “ proses hukum yang adil atau layak” lawan dari proses ini adalah “arbitrary process” atau “proses yang sewenang-wenang atau didasarkan pada kuasa penegak hukum “. Secara keliru penerapan proses hukum yang adil hanya bersandar pada peraturan hukum pidana saja, sehingga arti dari “Due Process Of Law” hanya sebatas penerapan hukum atau penerapan perundang-undangan secara formil saja. Seharusnya pemahaman tentang proses hukum yang adil mengandung juga sikap batin, penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat, meskipun ia menjadi pelaku kenyataannya due process of law banyak tidak berlaku bagi orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus terorisme , dari data Indonesian Police Watch setidaknya selama periode januari 2011 – maret 2012 ada sekitar 21 orang tersangka terorisme telah ditembak mati tanpa proses peradilan terlebih dahulu dalam proses penggerebekan polisi. Sebagaimana diungkapkan oleh Todung Mulya Lubis dalam desertasinya memang permasalahan keseimbangan para pihak merupakan hal yang sulit diwujudkan dalam realita,adalah tidak mungkin bagi terdakwa untuk memiliki peluang penuh dan seimbang dalam proses peradilan, jaksa penuntut umum biasanya memiliki akses yang lebih besar terhadap barang bukti dan saksi dibanding pengacara/terdakwa. Jenny Hocking, Terrorism and Counter-Terrorism; Instituanising Political Order , artikel dalam The Australian Quartley, Vol. 58 , JSTOR, diakses pada 08 Mei 2012 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana; Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,2007 hlm. 8 Rakyat Merdeka Online, 21 Teroris Tewas Terkena Timah Panas Densus 88, diakses pada 03 Mei 2012 Todung Mulya Lubis, “In Search Of Human Rights Legal-Political Dillemas Of Indonesia’s New Order, 1966-1990” dalam Satya Arinanto, Politik Hukum 2, Jakarta, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal. 197 c. Alasan Pemilihan Inggris dan Australia. Secara historis Inggris dalam memerangi terorisme memiliki pengalaman yang panjang sejak perlawanan Irish Republican Brotherhood and Young Ireland sebagai cikal bakal Irish Republican Army yang pecah pada tahun 1761. Inggris sendiri memiliki peraturan khusus tentang terorisme dari tahun 1974. Sedangkan Australia sendiri memiliki aturan mengenai terrorisme mulai tahun 1995. Secara teritorial Australia termasuk istimewa berada di dekat daratan Indonesia , dan Asia, Australia memiliki sistem hukum yang khas disatu sisi masuk dalam keluarga commonlaw tetapi disisi lain Australia melakukan kodifikasi terhadap peraturan perundang-undangannya terutama terkait dengan Criminal Code Act 1995. Dilihat dari keluarga hukumnya Inggris dan Australia termasuk dalam keluarga commonlaw mengingat tradisi due process of law sendiri diawali dari keluarga hukum commonlaw tercantum dalam Magna Charta dan tercantum dalam Hobeas Corpus Act 1679. d. Metodologi Perbandingan Hukum Perbandingan hukum memiliki arti penting dalam ‘perbaikan dan perluasan terus-menerus terhadap pengetahuan hukum kita” demikian yang dikatakan oleh Yntema sebagaimana dikutip oleh Peter De Peter De Cruz dalam bukunya Perbandingan Sistem Hukum terdapat beberapa Konsep Kunci dalam Metode Hukum Komparatif yaitu;A. Keluarga Hukum Induk dan Tradisi Hukum Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law Bandung, Nusa Media, 2010 Peter De Cruz, Ibid, Pemikiran mengenai keluarga hukum telah digunakan sebagai unsur utama yang bersifat organisasional bagi analisis terhadap sistem hukum di dunia. Ketika kita merujuk pada Negara-negara civil law berarti kita merujuk terutama pada Negara yang mewarisi tradisi Romawi-Jerman yang memiliki gaya yuristik tersendiri. Seperti kita ketahui tradisi hukum bukanlah serangkaian peraturan di dalam yuridiksi tertentu , tetapi merupakan sikap yang terkondisi secara historis terhadap peran hukum dalam masyarakat tertentu, karakteristik mode pemikiran hukumnya dan sumber-sumber hukumnya serta ideologi dasarnya. Tradisi hukum Perancis didasarkan pada pemisahan yang tegas antara hukum privat dan pidana disatu sisi, serta hukum ‘ publik’ dan administrasi disisi lain; pada kenyataannya keduanya membentuk dua sistem hukum yang terpisah. Indonesia bisa dikategorikan sebagai keluarga hukum civil law, mengingat hukum yang digunakan sebagian besar merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda. KUHP yang digunakan Indonesia merupakan Wvs KUHP Belanda yang merupakan warisan dari Code Penal Perancis, sedangkan KUHPerdata Indonesia berasal dari BW Belanda yang juga merupakan warisan dari Code Civil Perancis. Tradisi common law Inggris memiliki pendekatan yang berbasiskan kasus, yang dibentuk berdasarkan keputusan-keputusan yudisial dan preseden doktrin yudisial stare decisis .Demikian halnya dengan Australia menganut sistem yang sama. Terkait dengan interprestasi undang-undang dalam awal sejarah common law, sering kali hakim-hakim diingatkan oleh seniornya bahwa mereka hanya sebatas menginterprestasikan undang-undang sehingga hal tersebut mirip dengan yang terjadi pada sistem civil law dalam memberikan preseden. Peter De Cruz, Terkait dengan sistem hukum Lawrence M Friedman mengatakan bahwa fungsi dari sistem hukum adalah bagian dari kontrol sosial, dalam arti yang paling luas sistem kontrol sosial ini merupakan fungsi dari sistem hukum; sistem yang lainya kurang lebih menjadi sekunder atau dibawahnya , ibarat polisi lalu lintas sistem hukum memerintahkan orang apa yang harus dilakukan dan jangan dilakukan dengan Sumber-sumber hukum Sumber-sumber hukum formal adalah legislasi, undang-undang , keputusan yudisial adat-istiadat, doktrin atau tulisan akademis serta equity keadilan etis. Setiap sistem hukum memiliki sumber-sumbernya sendiri yang memiliki struktur heirakhi tertentu. Sehingga sumber hukum utama pada civil law adalah undang-undang yang berlaku, adat-istiadat yang dituliskan, dan perkara-perkara yang diputuskan , tidak ada tradisi stare decisis dalam civil law sementara hal tersebut merupakan sumber hukum pokok dalam common law. Bagi Indonesia produk legislasi adalah sumber hukum utamanya , lain halnya dengan Inggris dimana tradisi commonlaw berasal, stare decisis adalah tulang punggung hukumnya, yang menarik adalah Australia meskipun termasuk dalam kategori negara commonlaw tetapi Australia juga mencoba untuk terus melakukan kodifikasi terhadap undang-undangnya , termasuk undang-undang terorisme mereka masukkan dalam amandemen Criminal Code Act C. Metode Hukum Komparatif. Mengenai metode dalam komparasi hukum , Peter De Cruz merujuk pada pendapat Zweigert dan Kotz 1977 terkait dengan kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasikan sistem hukum , yang menurut mereka dapat dipastikan melalui ; a Latar Belakang Historis dan perkembangannya dari sistem tersebut; b Karakteristik tipikal model pemikirannya; c Institusi-institusi yang berbeda Lawrence M Friedman , American Law An Introduction 2nd Edition, Jakarta, Tatanusa, 2001 d Macam sumber hukum yang diakuinya dan perlakuan terhadap semua ini e Ideologinya. III. Analisis Perbandingan Pengaturan Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australia. A. Pengaturan Terorisme di Indonesia Sejak peristiwa 11 September 2001 perhatian dunia tertuju pada salah satu bentuk kejahatan yaitu Terorisme dan khusus di Indonesia kita pun ikut fokus terhadap kejahatan tersebut setelah terjadinya peristiwa Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 , di Legian Bali kejahatan tersebut layak digolongkan sebagai kejahatan besar terkait dengan aksi terorisme di waktu yang relatif sangat cepat sejak peristiwa bom bali pada 12 Oktober 2002 Pemerintah Indonesia hanya dalam kurun waktu 6 hari 18 Oktober 2002 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terkait dengan Terorisme secara umum dan Terorisme pada kasus Bom Bali. Jadi secara umum Indonesia memiliki dua peraturan perundangan khusus mengenai terorisme yaitu ; Pertama, Perpepu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; dan Kedua, Perpepu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perperpu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002. Namun sejak 23 Juli 2004 lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 03 / PUU-I/2004 membatalkan Perpu Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Perpepu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kasus Bom Bali sebagaimana telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Pemberlakuan Abdul Wahid, dkk, Suara Merdeka, “Bola Panas Itu Ada di Perpu Terorisme”, Sabtu, 26 Oktober 2002. Perpepu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kasus Bom Bali Sebagai Undang-Undang, dinyatakan tidak mengikatdan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sehingga secara khusus di Indonesia saat ini hanya memiliki satu peraturan khusus mengenai terorisme yaitu Perpepu Nomor. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah dijadikan Undang-Undang lewat Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Selanjutnya disebut Undang-Undang Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Untuk permasalahan teknis dalam proses peradilan pidananya masih banyak mengacu pada peraturan yang tercantum dalam KUHAP Indonesia. B. Pengaturan Terorisme di Inggris Sejarah mengenai peraturan terkait dengan terorisme di Inggris diawali dengan The Prevention Of Terorism Temporary Provision Act, 1974 sebagai respon terhadap pemboman yang dilakukan pada 21 November 1974 dimana 21 orang meninggal dan 184 orang terluka dikenal dengan Brimingham Bombing. Oleh pasal 12 Ayat 1 The Prevention Of Terorism Temporary Provision Act, 1974 bahwa undang-undang Act tersebut habis masa berlakunya pada 28 mei 1975 kecuali memang dinyatakan berlaku oleh kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi terjadi lagi peledakan bom pada Februari 1975 sehingga memaksa parlemen Inggris untuk memperpanjang kembali Undang-Undang tersebut untuk enam bulan berikutnya sambil menunggu diterbitkannya undang-undang Putusan Mahkamah Konstitusi , Amar Putusan Diktum ke-2 Ibid, Amar Putusan Diktum ke-2 Beradasarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tehnik Penyusunan Perundang-Undangan Dan Bentuk Rancangan Undang-undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden, Lampiran I bagian Nomor 165 penyebutan perpu yang telah dijadikan undang-undang adalah dengan menyisipkan prp pada tahun perpepu tersebut Clive Walker, The Prevention Of Terrorism In British Law, Manchester, Manchester University Press, 1986 The Prevention Of Terorism Temporary Provision Act, 1974 terus diperbaharui sampai tahun 1989 tetapi tetap sebagai Undang-Undang sementara . Pada tahun 2000 Parlemen menyetujui The Terorism Act 2000 , selanjutnya sebagai respon dari London Bombing maka parlemen mengesahkan The Terorism Act 2006 pada 30 Maret 2006, dan Undang-Undang tersebut masih berlaku sampai sekarang. C. Pengaturan Terorisme di Australia Sejarah pengaturan mengenai Terorisme di Australia sudah ada dalam Criminal Code 1995 Schedule 1 pada Bagian Terorisme Ayat 100-103, Bagian dalam Criminal Code Australia ini secara berkala telah diamandemen beberapa kali oleh beberapa peraturan perundang-undangan Act yakni; the Anti-Terrorism Act 2004 Cth, the Anti-Terrorism Act 2005 Cth dan the Anti-Terrorism Act 2005 Cth , kemudian pada bagian yang memuat tentang penghasutan untuk melakukan tindak pidana didalamnya termasuk juga penghasutan untuk melakukan aksi terorisme. Sebagaimana peraturan-peraturan tentang terorisme di beberapa negara termasuk Indonesia dan Inggris yang dilatar belakangi oleh tragedi 11 September 2001, demikian juga halnya dengan pengaturan mengenai terorisme di Australia, setidaknya telah ada 40 peraturan mengenai terorisme sejak terjadinya peristiwa 11 September 2001 sampai tahun 2012 .Pengaturan terbaru mengenai terorisme di Australia dapat ditemukan dalam the Anti-Terrorism Act 2005 Cth, yang sebenaranya merupakan amandemen dari Criminal Code 1995 dan beberapa peraturan Act yang sudah ada sebelumnya. Clive Walker, Ibid hal, 24 Liberty, “Terorism Bill Rushed” , diakses pada 15 Mei 2012 Australian Human Rights Commission, A Human Rights To Guide Australia’s Counter Terrorism Law’s, Sydney, HREOC, 2008, Australian Human Rights Commission, Ibid D. Perbandingan Pengaturan Terorisme di Ketiga Negara Indonesia, Inggris, dan Australia Terkait dengan Due Process of Law Terhadap Pelaku Apabila kita cermati terkait dengan due process of law terhadap pelaku terorisme di ketiga negara Indonesia, Inggris dan Australia , untuk pembahasannya hanya kami batasi pada isu-isu sentral yang terkait dengannya yaitu ; a. Penangkapan b. Peranan intelijen c. Hukuman mati d. Proses peradilannya terkait dengan bantuan hukum bagi pelaku terorisme a. Penangkapan Di Indonesia seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme dapat dilakukan penangkapan jika ada bukti permulaan yang cukup dengan periode paling lama adalah 1 hari, khusus untuk bukti permulaan berdasarkan laporan Intelijen maka dapat dilakukan penangkapan selama 7 x 24 Jam 7 hari, sebelumnya harus ada penetapan dari pengadilan mengenai bukti intelijen tersebut dimana pemeriksaannya dilakukan secara tertutup oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Mengenai kewenangan penyidikan yang terkait dengan proses penangkapan orang yang diduga terlibat dalam terorisme tidak diatur secara khusus siapa yang berwenang sehingga tetap merujuk pada peraturan dalam KUHAP Indonesia yaitu penyidik adalah Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 , Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 102, P asal 28 pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan Inggris terkait dengan penangkapan , masih merujuk pada perundangan lama yaitu Terorism Act 2000 c11 diatur bahwa maximum penangkapan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam tindak pidana terorisme adalah 48 Jam terhitung sejak dia ditangkap, Jika hakim Magistrat merasa perlu maka dapat diperpanjang lagi menjadi 7 hari, dan dapat diperpanjang menjadi 3 bulan 90 hari. Dikarenakan banyaknya protes terhadap masa 90 hari penangkapan maka oleh Terorrism Act 2006 c1 diamandemen menjadi maksimal 28 hari seseorang dapat ditangkap tanpa tuduhan charge setelah masa perpanjangan 7 hari pertama sebagai bagian dari investigasi aturan ini berlaku mulai 13 April prakteknya polisi tidak pernah melakukan penangkapan lebih dari 14 hari tanpa kejelasan lebih lanjut mengenai status dari orang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme. Praktek terlama dalam penangkapan dilakukan terhadap Shamin Mohammed Uddin yang dituduh terlibat dalam aksi terorisme yang dikenal dengan “ 2006 translantic aircraft Uddin diadili dengan dakwaan terlibat sebagai kaki tangan teroris. Di Australia penanganan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme hanya bisa dilakukan oleh AFP Australia Federal Police dan ASIO Australia Security Intelligence Organisation , penangkapan oleh AFP jangka waktu maksimalnya adalah 48 Jam dan dapat dilanjutkan menurut hukum negara bagian selama 14 hari, mereka Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 , Pasal 1 butir 1 The Terrorism Act 2000 Pasal 25 Ayat 4 The Terrorism Act 2006 Commencement 1 Pasal 23 Ayat 4 The Terrorism Act 2000 Pasal 26 Ayat 2b The Terrorism Act 2006 Commencement 1, The Terrorism Act 2006 Commencement 1, explanatory note BBC News, “Man Friend with Bomb Plotter”, diakses pada 23 Mei 2005. Criminal Code Act 1995 Pasal Ayat 2 harus meminta ijin pada ‘issuing authority’ yang berwenang yang menerbitkannya. ‘Issuing authority’ bukan pengadilan tetapi seorang hakim senior yang masih bertugas atau sudah pensiun, federal magistrate, atau anggota senior dari sebuah tribunal yang telah diangkat oleh pemerintah penangkapan oleh AFP di Australia lembaga intelijen juga berhak melakukan penangkapan berdasarkan Australia Security Intelligence Organisation Act 1979 mengatur bahwa dibawah wewenang khusus ASIO tidak boleh dilakukan penangkapan lebih dari 168 jam. Setelah dilakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan terorisme maka orang tersebut harus segera dihadapkan kepada “prescribed authority” untuk dijelaskan mengenai penangkapan tersebut. Yang dimaksud dengan “prescribed authority” adalah orang yang mengabdi sebagai hakim pada satu atau lebih superior court untuk jangka waktu minimal 5 tahun tetapi tidak sedang menjabat sebagai komisi dalam superior court, atau jika tidak cukup orang dengan kualifikasi tersebut maka Minister dapat menunjuk seseorang yang telah mengabdi sebagai hakim pada Suprame Courts atau District Court atau yang setara dengan masa kerja minimal 5 tahun untuk menjadi “prescribed authority”, jika masih kurang cukup orang dengan kualifikasi yang disebutkan sebelumnya maka Minister dapat menunjuk orang yang menduduki posisi sebagai Presiden atau Wakil Presiden dalam administratif tribunal yang terdaftar minimal 5 tahun pada Suprame Court dari negara bagian atau teritorial yang yang patut dicermati menurut penulis dari aturan mengenai penangkapan di ketiga negara bahwa adanya justifikasi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia terkait dengan aturan penangkapan secara internasional, dan aturan internasional hanya memberikan Ibid, Pasal Ayat 1 Australia Security Intelligence Organisation Act 1979, Bagian III Pasal 34s Ibid , Pasal 34B Ayat 1 Ibid , Pasal 34B Ayat 2 Ibid , Pasal 34B Ayat 3 waktu paling lama 48 empat puluh delapan jam seseorang yang ditangkap harus segera di hadapkan kemuka hakim, malahan dalam ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights seseorang harus “segera” dihadapkan kepada hakim setelah dilakukan penangkapan. Bahwasanya setelah batas waktu yang ditentukan maka orang tersebut harus dijelaskan mengenai status dirinya apakah hanya dimintai keterangan saja sebagai saksi misalnya atau telah menjadi tersangka. b. Peranan intelijen Di Indonesia peranan intelijen dalam penegakan tindak pidana terorisme dapat dilihat dalam kaitannya dengan bukti permulaan berupa “laporan intelijen” hanya saja di Indonesia tidak dijelaskan secara rinci lembaga mana yang berwenang terkait dengan “laporan intelijen” tersebut. Dalam perundang-undangan yang ada disebutkan bahwa “laporan intelijen” adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri , Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, atau instansi lain yang Inggris Fungsi intelijen terkait dengan kejahatan terorisme diatur dalam Intelligence Services Act 1994, bahwa salah satu fungsi intelijen adalah melakukan langkah-langkah preventif termasuk penangkapan dan penahanan terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan serius serious crime , maupun yang terkait dengan keamanan nasional Robert R. Strang, “More Adversarial, but not Completely Adversarial Reformasi of the Indonesian Criminal Procedure Code” Fordham Journal International Law Volume 32, hal. 222-223 lihat juga pasal 9 International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 102, P enjelasan Pasal 26 Ayat 1 Mengenai batasan waktu Intelligence Services Act tidak menyebutkan secara jelas sehingga bisa diasumsikan selama diperlukan. Beberapa kasus yang terjadi di Inggris akibat keterlibatan intelijen menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berupa penyiksaan torture, maupun penahanan tanpa peradilan, misalnya kasus Binyan Muhammed yang selama 7 tahun di penjara di Guantanamo tanpa peradilan terlebih dahulu , keterlibatan agen M15 dinas rahasia Inggris dibantah hanya sekedar melakukan interograsi saja, sementara persidangan tuntutan dari Biyan Muhammed sendiri tidak bisa diungkapkan karena termasuk dalam kategori rahasia menyangkut keamanan beradasarkan laporan dari PBB diduga pemerintah Inggris telah melakukan penyiksaan terhadap warganya sendiri terkait dengan “perang melawan terror”.Hal yang berbeda ditemukan di Australia , dimana peranan dalam penanganan kejahatan terorisme dari lembaga intelijen pengaturannya sangat jelas dalam Australia Security Intelligence Organisation Act 1979 Division 3—Special powers relating to terrorism offences , dan dalam the Anti-Terrorism Act 2005 Cth Schedule 10 tentang ASIO Power . ASIO diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan interograsi dan penahanan terhadap orang yang diduga terlibat kejahatan terorisme, tetapi bukan penangkapan , setelah dinyatakan terlibat tersangka maka penahanannya dialihkan ke polisi AFP. Beberapa hak warga negara misalnya hak untuk tetap diam right to remain silence Intelligence Services Act 1994 Pasal 1 ayat 2a Dailymail, Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PM Order Inquiry Into Secret Services, diakses pada 24 Mei 2012 Open Society Foundation, British Debates Over National Security And Public Right To Know, The Guardian, British Complicit in Mainstream and Posible Torture says UN” diakses pada 22 Mei 2012 dihilangkan dengan kewenangan yang diberikan kepada ASIO, sehingga jika seseorang tidak menjawab pertanyaan dari agen ASIO maka dia bisa dikenakan pidana maksimal 5 tahun. Begitu juga jika seseorang ditangkap oleh ASIO maka dia tidak diperkenankan memberitahukan kepada siapapun kecuali pada pengacara dan hakim tribunal , atau Ombudsman terkait dengan keberatan terhadap perintah penangkapan/penahanan oleh ASIO, dia boleh menceritakan kembali perihal tersebut kepada umum setelah 2 ketiga negara tersebut menurut hemat penulis tampaknya hanya Australia yang memperhatikan adanya kemungkinan terburuk terhadap keterlibatan aparat intelijen, mereka mencoba memberikan payung hukum bagi warga negaranya dan aparat intelijennya sehingga proses penanganan terhadap kejahatan terorisme tetap dalam koridor hukum yang ada. c. Hukuman mati Indonesia termasuk dalam Negara yang masih mempraktekkan pidana mati , dalam Undang-Undang Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memuat tentang ancaman pidana mati yang dapat ditemukan dalam pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 14. Sementara untuk pelaku yang berusia dibawah 18 Tahun tidak diancam dengan Hukuman Mati berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang tersebut. Law Foundation, UU Anti Terorisme, ASIO, Polisi dan Anda – Edisi dalam Bahasa Indonesia, diakses pada 24 mei 2012 Terkait dengan pidana mati juga perlu mendapat perhatian terkait dengan pelaku terorisme setidaknya sampai tahun 2008 Kontras mencatat ada 7 orang terdakwa kasus terorisme yang dijatuhi pidana mati, 3 orang diantaranya telah di eksekusi. Berbeda dengan Indonesia yang masih menerapkan pidana mati, Inggris sejak 1964 sudah tidak lagi mempraktekkan pidana mati, dan dengan ikutnya Inggris ke dalam protokol ke 13 Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa menjadikan hukuman mati terlarang di Inggris selama negara tersebut masih terikat kedalam konvensi secara otomatis bagi pelaku terorisme di Inggris tidak akan menghadapi pidana mati, akan tetapi hanya akan menghadapi maximum sentence sesuai yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan maupun dalam yurisprudensi yang ada. Sama halnya dengan Inggris, Australia juga telah menghentikan praktek pidana mati sejak 1967, pengadilan federal Australia secara resmi pada tahun 2010 melarang penerapan pidana mati pada seluruh wilayah teritorial Australia. Australia juga pada 11 Juli 1991 telah meratifikasi Protokol ke-2 dari Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dimana protokol ke-2 berisi mengenai larangan untuk menerapkan pidana mati bagi negara yang telah terikat protokol dalam konvenan dengan masalah hukuman mati ini menurut hemat penulis beban psikologis bagi terdakwa sangat besar sehingga dia akan berusaha bagaimanapun caranya untuk mengindar dari hukuman mati tersebut misalnya ; berbohong , dalam proses hukum yang Kontras, Data Narapidana dengan Vonis Mati, diakses pada 03 Mei 2012 Hoffman David & Rowe John , Human Rights in the UK An Introduction to the Human Rights Act of 1998 3 ed., London, Pearson Longman, 2010, hal. 148 Michael Walton , “The Death Penalty in Australia and Overseas”, NSW Council for Civil Liberty, Background Papper, 2005 hal. 10 lihat juga NSWCCL, “Australia Policy on Death Penalty”, diakses pada 20 Mei 2012, lihat juga , The Age, “Death Penalty Dead and Buried”, diakses pada 20 Mei 2012 adil due process of law beban psikologis tersebut membuat terdakwa dalam posisi yang tidak seimbang. Di Indonesia sendiri banyak kalangan yang menentang pidana mati, Prof. Roeslan Saleh pernah membicarakan mengenai pidana mati ini, beliau mempermasalahkan pidana mati karena pidana mati tidak dapat ditarik kembali jika kemudian hari terdapat Seno Adjie mengatakan bahwa sebenarnya hukuman mati tidak akan menjadi masalah bila dilaksanakan segera setelah putusan yang berkekuatan hukum tetap ada, masalahnya di Indonesia setelah terpidana menjalani pidana selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun hukuman mati baru Sidharta dalam Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay berpendapat bahwa dilihat dari sisi sejarah hukuman mati dipandang tidak relevan lagi dan hukuman mati menyebabkan demoralisasi di dalam masyarakat untuk lebih jelasnya beliau merujuk pada Deklarasi Stockholm desember 1977 yang antara lain mengemukakan ; a. Hukuman mati sering digunakan sebagai alat penindasan rasial, etnis, golongan, agama, anggota oposisi politik dan golongan minoritas; b. eksekusi hukuman mati adalah suatu tindakan kekerasan dan kekerasan cenderung memancing kekerasan dan kekerasan cenderung memancing kekerasan lain; c. Hukuman mati tidak terbukti memiliki daya penangkal deteransi yang khusus; d. Eksekusi hukuman mati bersifat irevokabel. d. Proses Peradilannya Terkait Dengan Bantuan Hukum Bagi Pelaku Terorisme Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia,Jakarta, Aksara Baru, 1978 Indriyanto Seno Adji, Humanisme Dan Pembaruan Penegakan Hukum Jakarta, Kompas, 2009 hlm. 263 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta, Kompas, 2009 hal. 242-243 Terkait erat dengan proses peradilan terhadap pelaku tindak pidana terorisme , perlu dipahami terlebih dahulu bahwa antara Indonesia, Inggris dan Australia terdapat perbedaan yang sangat mencolok terutama dipengaruhi oleh sistem peradilan pidana yang dianut oleh ketiga negara tersebut. Indonesia menganut sistem peradilan Inquisitorial sedangkan Australia dan Inggris menganut sistem Adversarial. Sistem adversarial adalah suatu sistem peradilan dimana dua belah pihak saling berlawanan secara berimbang, saling mempresentasikan fakta-faktanya dimana sekelompok orang atau seseorang biasanya jury atau hakim akan menentukan kebenaran dari kasus tersebut, biasa diterapkan pada negara dengan sistem hukum common law. Lawan dari sistem ini adalah Inquisitorial dimana hakim atau sekelompok hakim menentukan/ menyelidiki kebenaran suatu kasus , sistem ini biasa diterapkan di negara-negara civil law dan telah ada lebih dari 700 peradilan Hukum Acara Pidana di Indonesia diatur dalam Undang-undang no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana , sehingga pemeriksaan dalam persidangan pelaku terorisme tidak berbeda dengan tindak pidana yang lainnya. Apabila ancaman pidana dari Tindak Pidana Terorisme lebih dari 15 tahun dan bahkan maksimalnya adalah pidana mati maka sesuai KUHAP maka terdakwa wajib didampingi oleh penasihat hukum. Bagi yang tidak mampu bantuan hukum tersebut diadakan secara untuk yang menghadapi ancaman pidana kurang dari 15 tahun tidak diatur kewajiban didampingi oleh penasihat hukum. Untuk persidangan perkara terorisme di Indonesia dilakukan secara terbuka untuk umum Inggris tidak memiliki sistem pengadilan tunggal , Inggris dan Wales memiliki satu sistem pengadilan, Skotlandia dan Irlandia Utara juga memiliki sistem pengadilan yang berbeda, terkait dengan penanganan terorisme model pengadilannya sama dengan tindak pidana lainnya ada. Sandra Beatriz Hale, The Discourse of Court Interpreting Discourse Practices of the Law, the Witness and the Interpreter, Amsterdam, John Benjamin BV, 2004 hal. 31 Harry R Dammer dan Jay S Albanese, Comparative Criminal Justices System, Belmont, Wadworths Cengage Learning, 2011 hal. 199 Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 , Pasal 56 Ayat 1 Terkait dengan bantuan hukum di Inggris diwajibkan adanya bantuan hukum dalam perkara pidana, peraturan terbaru mengenai bantuan hukum dapat ditemukan dalam Legal Aid, Sentencing and Punishment of Offenders Act 2012 dan Legal Aid and Advice 1949. Di Inggris seseorang wajib didampingi oleh pengacara sesaat setelah dalam masa tidak mampu maka disediakan secara cuma-cuma oleh negara, adapun sumber dananya diambil dari para pembayar pajak yang dibebankan sebesar £2 per tahun, Australia juga memiliki peraturan mengenai bantuan hukum, Australia sebagai negara federal memiliki dua yuridiksi yaitu negara federal dan negara bagian, masing-masing bertanggung jawab dalam menyediakan bantuan hukum sesuai dengan hukumnya masing-masing. Mengenai bantuan hukum baik negara federal atau bagian biasanya di jalankan oleh sebuah komisi yaitu State and Territory Legal Aid Commissions, dibawah peraturan hukum Commonwealth Legal Aid Commission Act 1977 LAC Act terkait dengan terorisme pendampingan oleh pengacara dilakukan sejak penangkapan oleh AFP maupun pada saat interogasi yang dilakukan oleh ASIO. Jika tersangka tidak mampu maka lewat State and Territory Legal Aid bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma. Kehadiran bantuan hukum menurut penulis merupakan syarat mutlak adanya fair trail sebagai sendi dari due process of law . IV. Penutup Pengaturan Terorisme terkait dengan due process of law terhadap pelaku terorisme di Indonesia, Inggris dan Australia ternyata sama-sama memiliki tingkat kerentanan dalam pelanggaran hak asasi manusia, terutama jika dikaitkan dengan penyidikan awal dimana seseorang dicurigai terlibat dalam tindak pidana terorisme. Ketiga negara menetapan batasan waktu penangkapan yang melanggar ketentuan internasional yakni maksimal 48 jam atau Legal Aid, Sentencing and Punishment of Offenders Act 2012. Ayat 1 The Guardian, “Legal Aid 21st-century Britain”, diakses pada 24 Mei 2012 NLA,A New National Policy For Legal Aid in Australia, diakses pada 24 Mei 2012 sesegera mungkin dihadapkan ke muka hakim. Terkait dengan peran intelijen hanya Austrlia yang memberikan syarat-syarat yang cukup untuk intelijen dalam melakukan penahanan dan interogasi , di Indonesia intelijen memang tidak berhak melakukan penangkapan tetapi hasil dari informasi intelijen dapat dijadikan bukti permulaan bagi kepolisian, di Inggris intelijen memiliki peranan lebih luas sehingga diduga banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia oleh agen-agen rahasia Inggris. Dalam bantuan hukum bagi pelaku terorisme , Indonesia tidak mewajibkan adanya bantuan hukum kecuali bagi mereka yang diancam lebih dari 15 tahun atau hukuman mati, sementara Inggris dan Australia mereka memiliki aturan hukum bahwa seseorang harus didampingi oleh penasehat hukum sesaat setelah adanya penangkapan. Hukuman mati bagi pelaku terorisme masih di ancamkan di Indonesia, sementara di Inggris dan Australia hukuman mati sudah tidak diberlakukan lagi, hal ini menjadikan due process of law terkait dengan terorisme sulit diterapkan di Indonesia. Daftar Pustaka Buku Abdul Wahid.,dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum Bandung, Refika Aditama, 2004 Australian Human Rights Commission, A Human Rights To Guide Australia’s Counter Terrorism Law’s, Sydney, HREOC, 2008 Rusdi Marpaung dan Al Araf, Terorisme Aksi dan Regulasi Jakarta, Imparsial, 2003 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana; Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,2007 Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law Bandung, Nusa Media, 2010 Clive Walker, The Prevention Of Terrorism In British Law, Manchester, Manchester University Press, 1986 Australian Human Rights Commission, A Human Rights To Guide Australia’s Counter Terrorism Law’s, Sydney, HREOC, 2008 Harry R Dammer dan Jay S Albanese, Comparative Criminal Justices System, Belmont, Wadworths Cengage Learning, 2011 Hoffman David & Rowe John , Human Rights in the UK An Introduction to the Human Rights Act of 1998 3 ed., London, Pearson Longman, 2010 Indriyanto Seno Adji, Humanisme Dan Pembaruan Penegakan Hukum Jakarta, Kompas, 2009 Lawrence M Friedman , American Law An Introduction 2nd Edition, Jakarta, Tatanusa, 2001 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia,Jakarta, Aksara Baru, 1978 Satya Arinanto, Politik Hukum 2, Jakarta, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004 Sandra Beatriz Hale, The Discourse of Court Interpreting Discourse Practices of the Law, the Witness and the Interpreter, Amsterdam, John Benjamin BV, 2004 Syahdatul Kahfi Editor, Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta, Spectrum, 2006 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta, Kompas, 2009 hal. 242-243 Makalah , Desertasi, Artikel dan Internet Austin T Turk, “Sosiology of Terrorism”, artikel dalam Annual Review Of Sosiology 2004 , JSTOR , . diakses pada 25 Mei 2012 BBC News, “Man Friend with Bomb Plotter”, diakses pada 23 Mei 2005. Craig T Cobaen, Terrorism and Democracy The Balance Between Freedom and Order; British Experience, Desertasi pada University of Cincinnati University of Cincinnati, Cincinnati 2003 Dailymail, Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PM Order Inquiry Into Secret Services, diakses pada 24 Mei 2012 Jenny Hocking, Terrorism and Counter-Terrorism; Instituanising Political Order , artikel dalam The Australian Quartley, Vol. 58 , JSTOR, diakses pada 08 Mei 2012 Kontras, Data Narapidana dengan Vonis Mati, diakses pada 03 Mei 2012 Law Foundation, UU Anti Terorisme, ASIO, Polisi dan Anda – Edisi dalam Bahasa Indonesia, diakses pada 24 mei 2012 Liberty, “Terorism Bill Rushed” , diakses pada 15 Mei 2012 NLA,A New National Policy For Legal Aid in Australia, diakses pada 24 Mei 2012 NSWCCL, “Australia Policy on Death Penalty”, diakses pada 20 Mei 2012, Open Society Foundation, British Debates Over National Security And Public Right To Know, Rizal Sukma, “Keamanan Internasional Pasca 11 September Terorisme, Hegemoni AS, dan Implikasi Regional”, Makalah Pada Seminar Hukum Nasional, VIII Denpasar 14-18 Juli 2003, Denpasar, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003 Robert R. Strang, “More Adversarial, but not Completely Adversarial Reformasi of the Indonesian Criminal Procedure Code” Fordham Journal International Law Volume 32, hal. 222-223 lihat juga pasal 9 International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR Suara Merdeka, “Bola Panas Itu Ada di Perpu Terorisme”, Sabtu, 26 Oktober 2002 The Age, “Death Penalty Dead and Buried”, diakses pada 20 Mei 2012 The Guardian, “Legal Aid 21st-century Britain”, diakses pada 24 Mei 2012 -, British Complicit in Mainstream and Posible Torture says UN” diakses pada 22 Mei 2012 Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor. 76 Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 102 Republik Indonesia Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tehnik Penyusunan Perundang-Undangan Dan Bentuk Rancangan Undang-undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden, United Kingdom, The Terorism Act 2006 United Kingdom, Intelligence Services Act 1994 Australia, Australia Security Intelligence Organisation Act 1979 Australia, Criminal Code Act 1995 Australia, The Terrorism Act 2006 Commencement 1 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this R. StrangThis Article provides a perspective not normally available to legal scholars in the area of comparative law - it is a firsthand account of criminal procedure reform in the Republic of Indonesia. Indonesia, the world’s fourth largest country by population and the largest civil law jurisdiction, has embarked on sweeping legal, political, and institutional reform in the ten years since the collapse of authoritarian rule. Half way around the world from the Indonesia is virtually unknown to Western legal scholars, yet the changes being made in Indonesian criminal procedure are fundamental establishing a suspect’s right to remain silent; limiting pretrial detention; requiring police/prosecutor cooperation; liberalizing the rules of evidence; introducing guilty pleas and cooperating defendants; and replacing inquisitorial trial and pretrial procedures with adversarial ones. This process illustrates the enormous potential for code-based criminal procedure reform and its capacity to introduce new concepts into a criminal justice system, but its success requires legal actors to accept and internalize an entirely new conceptualization of their roles. PThis Article places the transformation of the Indonesian criminal procedure within the larger context of overall Indonesian legal reform as well as the widespread efforts to modernize criminal procedure codes throughout the civil law world. It is not limited to examining the final result, but also describes how and why particular results were reached – the sources the drafting team relied upon, the evolution of the code during the drafting process, and the motivations of drafting members in reaching particularly results. This Article pulls together a number of different important areas of current scholarship - comparative criminal procedure, international technical assistance, and post-authoritarian reform - in a reader-accessible case study Prevention Of Terrorism In British LawClive WalkerClive Walker, The Prevention Of Terrorism In British Law, Manchester, Manchester University Press, 1986Harry R Dammer Dan Jay S AlbaneseHarry R Dammer dan Jay S Albanese, Comparative Criminal Justices System, Belmont, Wadworths Cengage Learning, 2011American Law An Introduction 2 nd EditionM LawrenceFriedmanLawrence M Friedman, American Law An Introduction 2 nd Edition, Jakarta, Tatanusa, 2001Satya ArinantoSatya Arinanto, Politik Hukum 2, Jakarta, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004Syahdatul Kahfi EditorSyahdatul Kahfi Editor, Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta, Spectrum, 2006T AustinTurkAustin T Turk, "Sosiology of Terrorism", artikel dalam Annual Review Of Sosiology 2004, JSTOR, diakses pada 25 Mei 2012 BBC News, "Man Friend with Bomb Plotter", diakses pada 23 Mei and Democracy The Balance Between Freedom and OrderCraig T CobaenCraig T Cobaen, Terrorism and Democracy The Balance Between Freedom and Order;Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PMDailymailDailymail, Britain Dirty Torture Secret To Be Laid Bare Huge Payout For Victim as PM Order Inquiry Into Secret Services, diakses pada 24 Mei 2012A New National Policy For Legal Aid in AustraliaLibertyLiberty, "Terorism Bill Rushed", diakses pada 15 Mei 2012 NLA,A New National Policy For Legal Aid in Australia, diakses pada 24 Mei 2012 NSWCCL, "Australia Policy on Death Penalty", diakses pada 20 Mei 2012, Open Society Foundation, British Debates Over National Security And Public Right To Know, 8Jdvl. 135 3 236 133 26 223 452 301 172

perbandingan hukum pidana indonesia dengan hukum pidana inggris